1

6.5K 312 4
                                    

Allahumma move On

Part 1

"Nduk, nanti malam ikut datang ke acara syukurannya keluarga Haji Salim, ya?" ujar wanita paruh baya yang tengah berkutik dengan menu sarapan di meja makan pada anak gadisnya.

"Pasti untuk acara ijabnya Mas Arif besok, ya?" tebak gadis berkhimar biru itu dengan menunduk.

"Iya, mereka undang kita buat bantu-bantu acara," jawab Ibunya, kemudian menghela napas perlahan ketika menyadari perubahan wajah putrinya yang menjadi murung. "Sudahlah, ikhlas. Bukan jodohmu mau digimanakan lagi," imbuh wanita paruh baya itu seraya menepuk bahu Ulya-putrinya.

Ulya menghela napas berat. Benar kata Ibu, bukan jodoh mau digimanakan lagi.

Ketetapan jodoh terkadang memang rumit, saat hati sudah amat yakin, itu belum tentu senada dengan kepastian dari Allah. Ta'aruf atau bahkan khitbah sekali pun terkadang belum bisa dijadikan titik pasti sebuah hubungan akan terus berlanjut mulus, sejatinya ijablah kepastian yang nyata.

Ulya sudah merasakannya, bagaimana proses itu dijalani. Khitbah, tetapi perjuangannya pupus di tengah jalan ketika takdir berkata lain. Calonnya yang masih menuntaskan pendidikan di pondok justru diberi wasiat oleh sang Kyai untuk menikahi putrinya. Ulya bisa apa selain mundur alon-alon. Dia tidak mau debat panjang dan memperjuangkan yang jelas tak akan berujung dimilikinya. Dia tidak mau waktu terbuang percuma dan menambah luka. Cukup dipasrahkan pada takdir saja, ikhlas meski perih.

Takdir, ya takdir. Jika sudah menyangkut takdir ia tak bisa mengelak atau bahkan berontak, karena percuma semua tak akan berubah seperti yang ia suka. Takdir tidak pernah peduli pada perasaan kita.

"Ulya berangkat," ujar gadis itu seraya meraih tangan ibunya.

"Ndak sarapan dulu?"

"Udah kenyang," jawabnya asal seraya ke luar rumah.

Entahlah, hati Ulya kacau sejak tahu kenyataan demi kenyataan yang menghambat kisah cintanya sampai tidak bisa bersama dengan pria pujaan.

Pertama, saat Arif-mantannya menelpon bahwa dia tidak bisa melanjutkan hubungan mereka karena perjodohan yang menjerat, seketika penantian Ulya di patahkan.

Kedua, saat mendengar kabar yang beredar dari para ibu-ibu tetangga atas kepulangan Arif dan istrinya, mereka sudah diijabkan di pondok. Pulang untuk ijab resminya. Hati Ulya hancur berserakan, tetapi lagi-lagi Ulya bisa apa? Arif adalah santri yang sangat tawadhu pada Kyainya. Dia pasti tidak bisa mengabaikan amanah yang dipercayaan untuknya. Ulya bisa mengerti dan memahami, itu mengapa dia memilih pergi.

Dan, kenyataan yang semakin membuat Ulya ingin terbang jauh, saat menyadari mereka bertetangga. Rumah berhadapan hanya tersekat jalan perdesaan. Makan nikmat Tuhanmu mana lagi yang kamu dustakan, Ulya? Komplit sudah. Setiap saat kamu akan disuguhi pemandangan menyesakkan hati. Siap-siap saja untuk itu. Ia benar-benar tak bisa dengan mudah terlepas dari sakit hati akan itu.

Sudut mata melirik pada sebuah rumah yang telah menampakkan keramaian. Ulya menyayangi Arif, itu mengapa dengan mudah ia melangkah mundur tanpa protes panjang sebab pria itu tampak bahagia.

Meski Ulya kecewa penantian lamanya tak berujung apa-apa, justru hanya luka. Maaf kerap diucapkan padanya, tetapi tidak dengan mudah melebur kesalahan dan luka yang sudah tertoreh pada hati Ulya. Sekali pun kepala sudah mengangguk setuju dan bibir melengkungkan senyum, itu bohong sebenarnya. Itu hanyalah alasan untuk mempermudah masalah supaya tidak membesar. Dia cukup menyimpan prih dan kerumitan hati menyapa hari berikutnya seorang diri.

Teruntuk Mantan!Where stories live. Discover now