2. Stranger

Mulai dari awal
                                    

Manusia di penjuru bumi mana pun takkan terbiasa dengan yang namanya bunuh diri. Kematian terjadi di mana saja, bunuh diri pun begitu. April pernah dengar ceramah yang mengatakan kalau bunuh diri itu perbuatan yang tidak disukai Tuhan—seolah mereka yang bunuh diri itu memutuskan sendiri kematian mereka, padahal ada sebaik-baiknya Zat yang mengatur alur hidup dan mati manusia.

Tak berarti pula kita jika mewajarkan bunuh diri. Tapi ... siapa memangnya manusia yang bisa menghakimi mereka yang bunuh diri? Berkata bahwa doa tak ada artinya bagi mereka yang putus asa. Sejauh mana mereka tahu bahwa doa tak menembus langit?

Tapi di saat-saat seperti ini yang bisa April lakukan hanya diam. Membantah pun enggan.

"Olimpiade kamu udah dekat. Fokus aja sama belajar. Nggak usah ingat-ingat orang yang sudah meninggal. Kamu itu murid beasiswa, April. Jaga itu. Jangan sampe beasiswa kamu dicabut."

"Iya, Bu."

April memalingkan pandangan ke samping jendela. Pada berbagai kendaraan yang mendahului mobil mereka, pada pejalan kaki yang ada di trotoar, pada pohon-pohon yang memberi oksigen di jalanan, pada langit yang birunya lebih sendu.

Mungkinkah Almarhum Ayahnya ada di sana, mendengar konversasi Ibunya barusan? Apa tanggapannya? Sedih kah seperti April? 

Jujur, sejak Ayahnya tiada, April tak dapat mengenali Ibunya lagi. Senyum cerahnya, perkataan hangatnya, kesabarannya, semua lenyap seolah ikut pergi dengan Ayahnya di alam sana. April tahu kehilangan itu rasanya sulit. Berusaha menjadi waras di tengah peliknya lara, tapi bisakah sedikit saja Ibunya bisa berkata yang baik dalam suasana duka ini?

"Malam ini, hujan turun lagi ... bersama kenangan yang mungkin luka di hati ...,"

Untuk yang kesekian kalinya, lamunan April buyar mendengar bunyi pengamen di zebra cross. Ada anak kecil yang tengah bernyanyi diiringi oleh alunan senar gitar yang di petik oleh seorang lelaki. Diamati dengan seksama, tampaknya lelaki itu sebaya dengan April.

"... Luka yang harusnya dapat terobati
dan ku harap tiada pernah terjadi ..."

April menebarkan senyuman tipis kepada anak kecil itu kemudian melirik Ibunya.

Muzdalifah tak mengindahkan pengamen yang ada di sana, ia hanya membuang muka ke tempat lain seakan tidak menganggap kehadiran para pengamen itu.

April merasa agak prihatin dengan apa yang ia lihat terutama kepada Ibunya yang acuh tak acuh pada pengamen. Kalau saja Ayahnya masih ada ... mungkin Ayahnya akan menaruh beberapa lembar di mangkuk itu dan mulai menasehati April.

"April ... kamu tahu apa yang menarik dari tangan?"

"Apa, Pak?"

"Tangan itu bisa jadi sangat luar biasa kalau dia selalu berada di atas. Lebih banyak memberi apalagi sama orang-orang yang kurang mampu dari kita. Tapi, April harus ingat juga ketika tangan kanan memberi, tangan kiri jangan sampai tahu yah?"

April tersenyum mengingat hal itu. 

Ia pun merogoh selembar uang 20 ribu dan menaruhnya di mangkuk anak kecil. Lelaki dan anak kecil itu menundukkan kepala seraya mengucapkan terima kasih kepada April. Kemudian, mereka ganti mengamen di mobil sebelah lagi, masih dengan nyanyian yang sama.

April tahu sekali bagaimana rasanya kesusahan, bagaimana rasanya tidak makan bahkan harus tidur di jalanan. Sama seperti para pengamen itu. April pernah merasakan semuanya sebelum ia berada di Jakarta. Setidaknya, kehidupan masa lalu itu memberinya banyak pelajaran kehidupan.

"Kenapa kamu ngasih uang, April?"

Tiba-tiba saja Muzdalifah menatap April tajam. Seakan ia tengah menegaskan bahwa apa yang April lakukan itu salah. April menatap Sang Ibu dengan dahi yang mengernyit.

"Bu—bukannya kita harus saling memberi, yah, bu?"

"Mereka itu cuma pura-pura ngemis aja. Emangnya kamu yakin uang itu bakal dipakai cari makan?" sindir Muzdalifah. "Ibu pernah punya pengalaman ngasih uang ke pengamen yang ada di jalan. Setelah itu, Ibu pergi ke bioskop. Kamu tau yang bikin Ibu kaget tuh apa? Anak-anak yang tadinya ngamen itu malah pergi nonton film di bioskop. Nontonnya film dewasa lagi."

Tetapi ... anak-anak itu bisa jadi berbeda dengan anak yang April berikan uang tadi. April speechless mendengarnya.

Tiba-tiba saja nyanyian pengamen itu berhenti, tepatnya seorang lelaki yang memegang gitar kembali ke mobil April dan Ibunya dan mengembalikan uang yang diberi April sembari berkata,

"Ambil aja uangnya, dan maaf bu ... kita cari duit buat makan, bukan nonton bioskop."

Ia segera berlalu pergi meninggalkan anak kecil dengan mangkuk berisi recehan di samping April. April yang tadinya hendak memberikannya lagi dan meminta maaf, diurungkan ketika lampu berubah menjadi hijau dan Muzdalifah segera menjalankan mobil.

Terakhir, yang April dengar anak kecil itu berteriak memanggil lelaki yang sudah menepi dari zebracross.

"Kak Feblian,tunggu!"

🐾🐾🐾

Hari menjelang sore.

April berniat pergi ke kuburan Septria Hanum, sekedar mengirim doa di sana.

April tahu ini mungkin bertentangan dengan perintah Ibunya yang melarangnya untuk berdoa pada orang yang bunuh diri, terutama sahabatnya. Namun, akhir-akhir ini bayangan tentang Septria selalu terlintas dalam benaknya. Membuat April tak tenang sebelum melakukan apa yang ingin ia lakukan. 

Berbicara pada pusara dan berdoa untuknya.

Karena tak ingin ketahuan Muzdalifah, April pun memutuskan untuk pergi ke tempat pemakaman berbekalkan transportasi online secara diam-diam. 

Sesampainya di pemakaman, April memicingkan mata untuk melihat jelas pusara Septria. 

Tampak di sana ada seorang lelaki sedang menyapu nisan Septria dengan pelan. April mengernyit.

Aneh. 

April seperti merasa mengenali lelaki itu, tetapi—di mana? Di JIPS—tidak. Wajah itu tidak pernah dilihatnya di JIPS.

Rasa penasaran langsung menyelimuti hati April manakala lelaki itu mulai bangkit berdiri dari kuburan Septria.

Lelaki itu membalikkan tubuh untuk keluar dari pemakaman dan spontan, ia bertemu pandang dengan April dari jarak 15 meter.

Dia ...

April ingat orang itu. Orang baru ia temui tadi sepulang sekolah. Orang yang membuatnya merasa malu dan bersalah karena ucapan menohok Muzdalifah yang keterlaluan ...

Pengamen itu ...

Menit berikutnya, lelaki itu segera melarikan diri dari pandangan April. Mengambil langkah semakin menjauh pada gadis yang baru saja membuka mulut ingin menegur. 

"Eh! Tunggu!" teriak April.

Berniat mengejar lelaki itu, namun rasanya tidak mungkin. Jarak lari lelaki itu sangat jauh dari tempatnya berdiri sekarang.

April pun mengurungkan niatnya untuk mengejar lelaki bernama Febrian. Menghela napas panjang dan memilih untuk melangkahkan kaki ke pusara Septria, sesekali melirik langkah Febrian yang sudah berlari sangat jauh.

Padahal ia ingin sekali meminta maaf padanya atas apa yang diucapkan Muzdalifah tentang pengalamannya dengan pengamen lain. Namun, malah lelaki itu yang menjauh terlebih dulu. 

Tapi daripada itu ...

Ngapain dia di pusara Septria?

🐾

🐾

Seamless (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang