26. Maafkan Papa

7.8K 388 12
                                    

Nabila pov'

Aku merapikan pakaian yang ku kenakan. Setelah merasa cukup rapi, aku keluar dari kamar dengan membawa tas.

"Loh, Mas, ngapain ada disini?" Tanyaku heran saat melihat Mas Nuga yang sedang duduk santai di sofa.

"Aku mau nganter kamu kerumah Papa." Jawabnya.

"Bukannya kamu harus ngajar di pesantren?" Tanyaku.

"Aku udah izin. Anak-anak udah aku kasih tugas. Ayok berangkat. Keburu siang loh." Ucapnya yang kemudian keluar dari rumah.

Aku mengikuti langkahnya dari belakang. Dia orangnya memang susah untuk ditebak. Aku mengunci pintu rumah terlebih dahulu setelah itu mendekat kearah Mas Nuga yang telah menunggangi kuda besinya.

Seperti biasa, ia memakaikan helm ke kepalaku. Sebenarnya hal ini sudah biasa ia lakukan, tapi entah kenapa aku selalu tersenyum bahagia dan jantungku selalu berdegup tak karuan saat dia melakukan itu. Perlakuan yang biasa saja, tapi begitu romantis bagi diriku.

Kamipun berjalan meninggalkan kontrakan kami. Udara di ibu kota penuh dengan polusi. Semua kendaraan berdesak-desakan. Apalagi disaat lampu mulai berwarna merah. Hal yang paling tidak aku sukai.

"Nanti pas ketemu sama Papa, bicaranya yang sopan ya."

"Apa Mas?" Tanyaku.

Aku tak mendengar apa yang diucapkan Mas Nuga. Telingaku hanya bisa mendengar suara kendaraan yang begitu bising.

"Nanti, kalau ketemu sama Papa, bicaranya yang sopan ya," ucapnya.

"Loh kok kamu ngomong kayak gitu?" tanyaku.

"Aku takut aja, nanti kamu kelepasan ngomongnya. Inget, bil, orangtua itu harus kita hormati."

"Jadi itu alasan kamu mau nganter aku kerumah Papa?" tanyaku.

"Iya."

Aku diam saat ia menjawab 'Iya'. Sebegitu takutkah ia jika mulut ini melontarkan kata-kata kasar ke Papa?

Aku tahu, aku sulit mengontrol diri jika dihadapan Papa. Sikap Papa yang merendahkan ku dan juga Mas Nuga yang membuatku seperti ini. Aku jelas tidak terima jika Papa terus-terus saja merendahkannya.

Tapi dirinya, meski telah direndahkan oleh Papa. Ia tak ambil pusing, ia tak memasukkan perkataan Papa didalam hatinya dan ia selalu menghormati Papa. Jujur, meski kami menikah karena keterpaksaan, tapi aku sangat bahagia. Dia adalah seorang laki-laki yang dikirim Allah untuk melengkapi imanku, menjadi imamku, sekaligus menjadi guruku.

Sekarang kami telah berada didepan rumah. Mas Nuga terus saja mengingatkanku untuk mengontrol diri dan berbicara dengan sopan. Kadang, aku merasa bosan dengan peringatannya itu. Maaf ya, Mas.

Ketika kami masuk kedalam rumah. Mama menyambut kedatangan kami dengan penuh hangat.

"Papa Mana, Ma?" tanyaku setelah mencium Mama.

"Belum pulang, mungkin sebentar lagi. " jawab Mama.

Sembari menunggu Papa pulang, aku dan suami dijamu dengan berbagai makanan. Kulihat hampir semua jenis sayuran hijau terhidang diatas meja makan ini. Ada kangkung, sawi hijau yang aku yakini sangat pahit, brokoli dan telur.

Sebenarnya aku dan Mas Nuga sudah sarapan dirumah. Tapi, demi menghormati Mama. Kami memakan hidangan tersebut.

"Mama lagi jalani hidup sehat ya makan-makan sayuran kayak gini?" tanyaku menunjuk satu persatu sayuran itu.

"Enggak kok. Mama sengaja nyuruh para pelayan buat masak sayur-sayur hijau ini. Semua ini, khusus buat kamu dan Nuga. " Ucapnya dengan senyum.

"Untuk aku dan Mas Nuga?" tanyaku.

Kamu Pilihan AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang