10. Gelisah

9.9K 469 3
                                    

Pagi ini Nabila sedang membuat kue cookies untuk camilan. Sebagai wanita yang suka ngemil, Nabila lebih memilih membuat camilannya sendiri. Apalagi ini bisa dimakan oleh satu keluarga. Keluarga yang bisa menghargai apa yang dibuatnya.

Selain memasak tidak ada lagi kegiatan yang Nabila sukai. Hal ini juga yang melatar belakangi dia menjadi seorang chef, mendapatkan tepuk tangan dan pujian dari orang lain adalah cara dia untuk bisa menghargai kehidupannya sendiri.

Drett

Nabila yang tengah mengadon bahan melirik ponselnya. Disana hanya ada sebuah nomor, ia ragu untuk mengangkatnya. Panggilan pertama ia abaikan, panggilan kedua, ketiga, keempat dan setelah panggilan kelima baru ia mengangkat panggilan tersebut.

"Hallo, siapa ya?"

"Hallo, sayang. Makasih udah angkat telponnya."

Suara dari sebrang membuat Nabila bungkam. Matanya mendadak berkaca, ia ragu untuk mengucapkan kalimat ini karena ini pertama kalinya orang itu menelpon.

"Mama?"

***

Nabila bingung harus berbuat apa semenjak di telpon Mamanya. Ada rasa sedih, bahagia dan marah menjadi satu. Dia membersihkan rumah tanpa berhenti untuk menetralkan perasaan yang bercampur aduk itu.

Terkadang termenung lalu kembali dalam kegiatan. Ia menyikat baju dengan perasaan emosi yang tanpa sadar sudah membuat tangannya mengkerut dan merusak baju itu sendiri.

"Akh!" teriaknya.

"Ada apa Nabila?"

Nuga yang pada saat itu pulang lebih awal terkejut mendengar teriakan istrinya. Melihat seperti ada yang tidak beres dengan istrinya, dia menuntun Nabila yang duduk di kamar mandi untuk meninggalkan pekerjaannya. Ia menuntun Nabila ke halaman belakang untuk merasakan udara luar.

"Istigfar dulu," pintanya dan Nabila menurutinya.

Nuga menuntun istrinya mengucapkan kalimat itu. Nabila yang tadinya kacau sekarang menjadi lebih tenang. Melihat keadaan ini Nuga langsung bertanya kepada istrinya dengan hati-hati.

"Ada apa?"

Kalimat yang akhir-akhir ini sering dikeluarkan oleh mulutnya. Nabila menjawabnya dengan gelengan kepala.

"Cerita, jangan di pendam sendiri," pintanya dengan menggenggam tangan Nabila.

"Mama tadi nelpon," jawab Nabila.

"Bagus dong," ucap Nuga bahagia karena selama menikah dia belum pernah bertemu kembali dengan mertuanya.

"Untuk pertama kalinya setelah sekian lama," sambung Nabila yang menghilangkan senyum Nuga.

"Apa komunikasi kamu sama Mama kamu buruk?" tanya Nuga.

"Iya, sangat buruk. Bahkan kami enggak pernah kabar-kabaran. Tapi tadi dia nanya kabar aku, aku seneng di perduli. Tapi rasanya aneh. Dia minta kita datang ke rumah. Papa yang minta," ucap Nabila.

"Ya udah kalau gitu kita ke rumah Papa dan Mama. Aku juga pengen kenal deket sama orang tua kamu. Kayak kamu sama Ummi dan Abi," ucap Nuga.

"Aku enggak mau pergi ke sana," ucap Nabila menatap lurus.

"Tapi Mama ngundang kita."

"Aku enggak mau ke sana," eja Nabila.

"Apa mereka melakukan kesalahan yang besar sampai kamu ngga mau datang ke rumah itu?" tanya Nuga.

"Ya. Diabaikan, dihina, dipaksa melakukan hal yang mereka mau, tidak dihargai, dicampahkan, bahkan menjadi korban pertengkaran mereka setiap harinya. Semua aku lalui sendiri, Mas Nuga. Semua terjadi di rumah itu dan aku enggak akan mau pulang ke sana. Rumah aku disini, bersama kalian. Aku dapat semua yang ngga aku dapatkan disana ketika aku ada disini." Nabila menghapus air matanya.

"Aku enggak akan pernah mau datang ke sana," ucap Nabila.

Dadanya sesak ketika mengingat kejadian buruk yang ia lalui selama ini. Nuga memeluk tubuh istrinya yang lemah itu. Dia membelai kepala itu dengan lembut, entah kenapa rasanya sakit saat mengetahui ketidakadilan yang di dapat oleh istrinya. Apalagi melihat Nabila menangis, wanita yang pemarah dan galak itu ternyata bisa serapuh ini.

"Oke. Kita enggak akan ke sana kalau kamu belum siap. Maaf karena udah memaksa," ucap Nuga.

Nabila tidak marah, ia menumpahkan rasa kecewanya pada pelukan hangat Nuga.

***

Nuga tengah berkutik dengan laptop. Ia sedang membuat soal ujian semester karena sebentar lagi para santri akan memasuki ujian semester. Disampingnya ada Nabila yang sudah tertidur. Sesekali ia melihat wajah yang lelah itu. Deru napas yang teratur membuat hatinya sedikit tenang.

Ia membelai puncak kepala Nabila dengan lembut dan hal itu membuat Nabila membuka mata.

"Kenapa?"

"Enggak tenang," jawabnya Nabila.

Nuga menarik napas, ia menggenggam tangan Nabila supaya hati wanita itu lebih tenang. Ia tahu jika yang membuat Nabila gelisah adalah telpon dari Mamanya. Nabila diam sejak, seolah memikirkan sesuatu.

"Masih kepikiran sama yang tadi siang?" Nabila mengangguk sebagai jawaban.

"Besok kita ke rumah, ya. Aku mau kamu kenal juga sama orang tua aku," pinta Nabila.

"Kamunya gimana, enggak apa-apa?" tanya Nuga.

"Lebih baik ketemu dari pada hati aku gelisah setiap saat," ucap Nabila.

"Kita perginya waktu kamu pulang dari ngajar aja. Kamu ambil cuti sehari, ya. Rumah aku lumayan jauh dari sini. Mungkin dua jam perjalanan, itupun kalau enggak macet," ucap Nabila.

"Iya. Nanti aku atur," ucap Nuga. "Tidur lagi, ya," pintanya yang kembali mengusap kepala Nabila.

Wanita itu mengangguk, dia kembali memejamkan matanya agar pikirannya kembali jernih.

________________________________________________

Bersambung ...

Vote and coment
Jazakumullah ya khairan ya.

Kamu Pilihan AllahKde žijí příběhy. Začni objevovat