3. Bicara

12K 535 5
                                    

Seminggu telah berlalu semenjak kejadian itu. Tapi Nabila belum berani melangkah keluar dari rasa takutnya. Hal yang dia lakukan sekarang adalah membaca dan memasak. Memasak kadang membuat pikirannya menjadi lebih tenang.

"Mau saya bantu?"

Nabila berbalik ketika mendengar suara itu. Nuga berdiri dengan baju koko berwarna cream disana.

"Enggak usah," balas Nabila.

Wajah Nabila yang seolah masih menolak kehadiran Nuga membuat sang suami berinisiatif untuk mencuci sayur kangkung yang dipotong Nabila.

"Gue bilang ngga usah," ucap Nabila.

"Kalau yang masak dua orang pasti bakal cepet selesainya," ucap Nuga.

"Ummi juga sebentar lagi pulang," ketusnya.

"Ummi ada kegiatan di pesantren," ucap Nuga.

Nabila membiarkan lelaki itu membantunya. Lagipula setelah seminggu mereka menikah baru hari ini Nuga mengajaknya berbicara. Ya, seminggu tanpa ada percakapan antara dua insan yang berstatus suami istri pasti akan sangat aneh. Bahkan mereka belum berada di satu ranjang yang sama.

Melakukan tugas masing-masing, akhirnya makan malam yang disiapkan keduanya selesai. Mereka menatapnya dengan penuh senyum tapi senyum itu memudar karena pandangan mereka bertemu.


Nabila yang merasa canggung langsung menuju tempat masak yang masih kotor. Ia membersihkan sisa-sisa masakan yang berserakan.

"Nabila saya mau ngomong sama kamu," ucap Nuga yang menyusulnya.

"Setelah seminggu ini?" tanya Nabila yang seolah menyindir karena Nuga yang tidak pernah menengurnya.


Pria itu membuang nafas berat. "Kamu marah sama saya?" tanya Nuga.

"Enggak ada hak buat gue marah sama Lo. Karena yang salah di sinikan gue. Gue yang ngajak Lo buat nikah," ucap Nabila.

"Gue yang harusnya minta maaf karena udah enggak tahu diri sama orang yang udah nyelamatin hidup gue. Gue juga minta maaf karena mungkin Lo punya cewek dan harus ninggalin cewek Lo karena nikah sama gue. Gue juga --- "

"Udah. Jangan diterusin." Nuga memotong kalimat Nabila.

Nabila menatap lama suaminya. "Kenapa, punya ya?" tanya Nabila.

Ia menunduk dengan senyuman kalau menatap suaminya. "Lo boleh ceraiin gue dan balik sama cewek Lo," ucap Nabila.

"Kenapa kamu selalu bilang cerai?"tanya Nuga.

"Gue cuma ngga mau Lo terpaksa nikah sama gue," ucap Nabila.

"Kalau terpaksa ngga akan ada ijab qobul Nabila," ucap Nuga.

Diam, berpikir dan bingung. Itu yang dirasakan Nabila. Keduanya saling menatap. Apakah ucapan laki-laki bisa Nabila percaya lagi setelah kejadian itu.

"Malam ini saya tidur di kamar," ucapnya kemudian.

***

Kedua insan ini saling diam meski mereka sudah berada di atas ranjang yang sama. Tidak ada niatan untuk saling menyapa sepertinya. Detik jarum jam terus berputar, hawa dingin malam menyelinap masuk dari cela ventilasi.

Nabila mencoba mengabaikan suaminya dengan perasaan was-was. Ia hanya takut jika pria itu mengambil kesempatan saat ia tengah tertidur.

"Gue tidur duluan," ucap Nabila.

"Ya udah. Selamat tidur," ucap Nuga.

"Pokoknya nanti kalau gue tidur lo ngga boleh meluk gue, deket-deket sama gue, bahkan ambil kesempatan sama gue. Gue tahu kita suami istri tapi kita belum kenal satu sama lain, jadi jangan kelewatan batas," ucapnya memperingati Nuga.

Nuga yang mendengarkan itu tersenyum. "Siap," ucapnya.

***

"Nabila," pelan suara Ummi memanggil.

Ia membuka matanya pelan, dihadapannya Ummi telah menggunakan mukena.

"Bangun, sayang. Kita shalat subuh ke Masjid," ajak Ummi.

Nabila menegakkan badannya, ia melihat jam yang tergantung di dinding.

"Kenapa ke masjid? Biasanya di rumah," ucapnya.

Memang semenjak menginjakkan kaki di rumah ini. Nabila selalu diajak Ummi untuk melaksanakan shalat. Nabila bukan wanita muslim yang buta akan agamanya sehingga shalat saja tidak bisa. Ia bisa shalat tapi sebelum berada disini, ia selalu melalaikan shalatnya.

"Ummi udah lama ngga shalat di masjid. Sekalian mau kenalin kamu sama lingkungan pesantren di waktu subuh. Ayo cepat, sebentar lagi adzan, nanti kita ketinggalan shalat qobliyah subuhnya," ucap Ummi. "Ummi tunggu diluar, ya," sambung wanita itu.

Sebetulnya jiwa Nabila merasa malas.  Tapi tidak mungkin jika dia menolak ajakan ibu mertuanya. Sepintas otaknya seolah mengingat sesuatu. Nabila menoleh ke arah samping, tidak ada suaminya disana. Tempat tidur itu juga sangat rapi, seolah tidak membaringkan badannya disana.

.
.
.

Bersambung...

Jangan lupa
Vote and Coment

Jazakumullah ya khairan.

Kamu Pilihan AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang