// what a day (2)

Start from the beginning
                                    

Cameron kembali memelukku, bahkan dengan jahatnya dia tersenyum manis padaku, mengacak rambutku dan pergi kian menjauh. "Cam... Cam.... CAM!"

"ANNA?! ANNA LO KENAPA?"

Aku terbangun, bajuku basah, keringat dimana-dimana bahkan nafasku tidak teratur. Pipiku basah, mataku perih karna air mataku. Arden menarikku dalam dekapannya, memelukku sangat erat disana. "Lo kenapa sih Anna, gue bingung harus gimana tau enggak?! Gue udah panik keliling kota tau!" omel Arden disana.

Aku tersenyum seraya mengatur nafasku. "Maaf... maaf emang suka begini, sori banget lo harus liat gue kayak gini, Den,"

Arden menggeleng cepat, mengusap wajahku yang basah. "Gapapa, gue ngerti kok,"

"Gue teriakin Cameron, ya?"

"Elo teriakin nama gue kok," ujarnya menenangkanku walau aku tau semuanya. Ini memang sering terjadi, tetapi kali ini sangat indah. Aku bisa merasakan pelukannya, melihat senyumnya yang benar-benar terasa nyata sekali, dan ucapan yang seperti pesan untukku bahwa dia baik-baik aja. Memang ini waktunya, memang ini yang Cameron mau. "Ooh teriakin lo, syukur deh kalo gitu,"

"Kok syukur?"

"Yaaa... kalo gue teriakin cowok lain entar lo cemburu lagi," ujarku mencairkan suasana, sebenarnya untuk menangkan diriku juga.

Arden tampak menyengir tidak percaya akan ucapanku. "Lo tuuhh yaa..." ia mencubit pipiku gemas. "gue akan coba mengerti kok, gue akan sabar buat nunggu lo karena gue tau dan gak mau terlalu keras. Seandainya emang nggak berdampak kehadiran gue buat lo, gue nggak akan memaksa dan mencoba kembali mengerti dan akan mundur perlahan daripada jadi kesan enggak enak di elo." Ucap Arden menyakinkanku.

Aku tersenyum dalam anggukan, bersyukur bahwa aku bisa dipertemukan sosok Arden yang dewasa dan mengerti keadaanku. Ia kembali mengulurkan tangannya, membenarkan rambutku yang acak, "Sekarang kita lanjut ke makam, ya? Abis itu cari makan."

❤️❤️❤️

Aku mencium batu nisan di depanku, dengan tangis kembali, "Terimakasih udah mau mampir, terimakasih buat semuanya. Aku janji akan bahagia di sini, aku janji akan membuka hati. Aku sayang sama kamu, terimakasih untuk semuanya, Cameron. Kamu selalu ada di hati aku, kamu... baik-baik ya. Aku pamit pulang, sampai ketemu lagi." Aku meneteskan air mataku untuk terakhir kalinya. "Biar aku nangis untuk hari ini aja, biar tangisan aku seharian ini untuk kamu, ya, Cam."

Arden berbalik menatapku dari kejauhan dengan senyum, lalu mengacak rambutku saat aku sudah sejajar di tempat ia berdiri. "Udah?"

"Udah..."

Mobil Arden berhenti di sebuah kios-kios tempat makan. Lenganku ia pegang, ia arahkan jalanku. "Kenapa pegang lengan dah," kataku disana. Tidak, tidak komplain agar tanganku yang dipegang. Aku bertanya.

Arden menyengir kuda, "Gapapa, belom saatnya pegangan tangan,"

Aku tertawa disana, Arden mempunyai cara sendiri untuk memperlakukanku. "Kok ke minimarket?" tanyaku saat langkah Arden berhenti di minimarket.

Kali ini Arden memegang pundakku dan sedikit menekannya bermaksud untuk menyuruhku duduk di sana. "Tunggu sini, ya,"

Arden memasuki minimarket sementara aku menunggunya. Aku mengembuskan nafas cukup panjang, hari ini hari yang penuh kejutan. Apa lagi mimpi yang seperti nyata adanya, seandainya bila itu bukan mimpi aku tidak tau akan melakukan apa. Tapi itu tidak mungkin, semua pesan Cameron dari mimpiku seperti nyata yang berarti itu pesan Cameron untukku dari atas sana. Ini waktunya, aku sudah selesai dengan masa laluku sekarang aku akan memulai hidupku yang baru, semoga kali ini tepat tanpa harus merasakan kembali sakit hati. Aku harap.

Metanoia Where stories live. Discover now