19 | Moment of Falling

346 29 0
                                    

Gadis itu terjaga dan terduduk di atas tempat tidur, napasnya memburu, peluh membasahi tubuhnya. Pintu kamar terbuka terlihat Awan terburu-buru masuk dan memeluk tubuh gadis itu. Seketika Iva menangis sekuat-kuatnya. Iva yang tidak pernah menunjukan kesedihan  yang dia alami ke orang lain kecuali Ibunya kini menangis tersedu dalam pelukan Awan. Awan menepuk pelan pundak Iva mencoba menenangkan gadis yang telah membuatnya jatuh cinta itu.

"Aku ... Aku ... orang-orang aku sayang ... semua pergi ... pergi ninggalin aku, Wan ... semua karena aku Wan..." ucapnya sambil terisak. Awan menghapus air mata di wajah Iva dengan lembut.

"Shht ... Kamu hanya mimpi buruk, udah ya .." Awan coba menenangkan.

"Sudah tiga hari Indra nggak bisa dihubungi ... biasanya pasti dia ada kasih kabar ke aku," isak nya lagi. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran.

"Oke sekarang kamu tenang dulu. Nanti pagi kamu telpon semua kerabat di Balikpapan. Pasti in mereka semua baik-baik aja. Besok aku akan minta tolong Pak Am, untuk lacak keberadaan Indra di Yogya. Oke?" ucap Awan agar gadis dalam pelukannya itu tenang. Iva masih menangis, air matanya tidak dapat berhenti sesuai keinginannya. Dia mengangguk dan menggelang membuat Awan bingung.

"Hmm,  aku akan hubungi Om dan Tante besok tapi, aku nggak mau repotin kamu lagi, Wan. Kamu ... kamu udah terlalu jauh terlibat. Aku nggak bisa kalau kamu juga terluka lagi gara-gara aku," ujar Iva dengan air mata yang masih saja mengalir membasahi wajah putihnya. Awan tersenyum, dia membelai kepala Iva lembut.

"Sudah ku bilang, aku memaksa. Aku ingin berguna buat kamu, Va."

"Kamu nggak harus, Wan. Kita hanyalah dua orang asing yang tidak sengaja bertemu. Jangan membahayakan dirimu, aku nggak akan bisa memaafkan diri aku jika ada lagi yang terluka gara-gara masalah ini."

"Aku suka kamu, Va. Bukan! Aku rasa aku jatuh cinta sama kamu. Orang asing yang tidak sengaja kutemukan!"

Jawaban Awan membuat gadis berambut sebahu itu terdiam kaku. Tiba-tiba saja air matanya yang sedari tadi mengalir kini terhenti. Mungkin dia tidak menyangka Awan akan menyatakan cinta di saat seperti ini. Benar-benar tidak masuk akal, pikirnya.

"Aku serius!" lanjut Awan. Iva menggeleng keras seolah ingin menjatuhkan sesuatu yang melekat di rambutnya.

"Nggak itu nggak masuk akal. Kita bahkan tidak kenal baik. Ini hanya perasaan sesaat, Wan karena aku adalah satu-satunya wanita yang kamu temui dalam beberapa hari ini. Percayalah, ini bukan perasaan kamu yang sesungguhnya." Iva menggenggam tangan Awan berupaya menyadarkan pria yang enam tahun lebih muda darinya itu. Awan melepaskan genggaman tangan Iva dan berdiri, raut wajahnya menjadi serius kembali. Awan melangkah menuju keluar kamar meninggalkan Iva yang kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi.

Keesokan harinya, belum juga gadis itu beranjak dari kasur nyamannya dia berusaha menghubungi Indra kembali namun usahanya gagal. Kemudian Iva mengirimkan pesan, berharap akan dibalas oleh Indra ketika dia bisa. Kemudian mencoba menghubungi Om Visnu di Balikpapan.

Om Visnu : Iva! Bagaimana ada berita terbaru tentang orangtua kamu? Sudah pergi ke Banyuwangi?

Iva : Sudah Om. Tapi belum dapat hasil apa-apa. Setidaknya Iva tau nama kedua orangtua Iva sekarang dan tau asal usul foto yang didapat Mama dari mana. Gimana keadaan Om dan Tante di sana?

Om Visnu : Jangan pikirkan kami. Om bisa jaga Tante kamu dengan baik. Kamu khawatirkan diri kamu dulu. Sekarang kamu dengan Indra?

Iva : Nggak Om. Indra ke Yogya mencari identitas orang-orang yang saat itu bersama Iva sebelum akhirnya diadopsi Mama dan Papa. Mm... Om, ada Kak Aryo?

Om Visnu : O begitu jadi kamu sekarang dengan siapa? Sendirian? Sebentar Om panggil Aryo.

Iva : Nggak kok, sama teman. Tante kenal kok. Aku sama Awan.

Om Visnu : Awan? Anak muda yang menyelamatkan Tante dan kamu waktu diserang itu?

Iva : Iya Om, Awan yang itu. Kami kebetulan ketemu lagi di Surabaya. Ternyata keberadaan dirinya di Balikpapan dan Surabaya ini benar-benar kebetulan. Dia ada project di sana dan .... Ya sekarang Iva sama dia..

Om Visnu : Begitu? Baguslah, sebentar ini Aryo.

Aryo : Iva.. gimana-gimana? Apa yang bisa aku bantu?

Iva : Kak, aku minta tolong untuk jagain Ayu ya, aku masih khawatir aja disini.

Aryo : Ayu doang mah gampang. Nggak usah kawatir. Baik-baik saja disana.

Sambungan telpon pun terputus. Tentu saja Iva tidak akan menceritakan kondisi terakhir yang sangat menegangkan itu. Dia tidak mau membuat om dan tantenya merasa khawatir.

Kemudian Iva mengingat kejadian tadi malam, membuat wajahnya memerah. Wajah sembab dengan mata sedikit bengkak akibat menangis tadi malam itu memerah. Setelah mandi akhirnya dia memutuskan untuk keluar kamar dan menghadapi Awan. Sebelumnya dia berdiri memandangi dirinya. Ada sedikit luka pada bagian wajah  di bawah matanya sisa kecelakaan di Hutan Baluran. Sedangkan lebam di ujung bibirnya akibat pertarungan dengan penyusup di rumahnya belum sepenuhnya hilang.

"Gila memang, lihat! muka udah nggak ada indah-indahnya. Luka di sana-sini plus aku itu enam tahun lebih tua dari dia, dia nyadar nggak sih? Hidup aku dipenuhi tragedi dan bahaya. Kok bisa-bisanya dia bilang cinta! Yah.. dia memang menarik ..." kemudian dia terdiam sejenak sambil memandangi ujung jari kakinya dan menggelang kuat.

"Nggak! Don't you dare, Iva. Jangan jatuh cinta sama Awan!!" serunya seraya menunjuk pantulan dirinya di cermin. Menepuk kedua pipinya dan membuatnya semakin merah. Dia malu dengan apa yang terlintas dalam pikirannya saat itu.

Iva melangkah keluar kamar, pertama yang dilihatnya adalah jam yang ada di ruang tengah apartemen yang berwarna kuning terang, warna kesukaannya. Sudah menunjukan pukul 10 pagi. Suasana sepi. Televisi mati. Awan tidak ada di sana. Iva berjalan menuju dapur, dilihatnya semangkuk bubur yang sudah dingin di atas meja dan sebuah note.

Buburnya sengaja aku sajikan biar cepat dingin. Kamu nggak suka makanan panas kan?

Kalau membuatmu merasa tidak enak, jangan dibahas soal tadi malam.

Tapi satu hal yang harus kamu tahu.

Aku serius!

Selamat makan,

aku pergi sebentar sebelum makan siang mungkin sudah kembali dan jangan keluar apartemen tanpa aku!

Pada pojok note Awan menggambar emoticon bertanduk, yang artinya dia masih marah soal tadi malam. Dia marah karena dianggap sedang bercanda pada situasi seserius tadi malam. Iva menyunggingkan senyum dan bersiap menyantap bubur yang sudah dingin di hadapannya itu.

#

Terlihat Awan sedang berdiri di depan gedung pertokoan menunggu seseorang. Awan menggunakan masker yang menutupi sebagian wajahnya dan topi berwarna hitam. Tidak lama kemudian seorang pria berbadan besar datang menghampiri Awan dan memberikan sebuah amplop berwarna cokelat kepadanya dan pergi. pria itu menggunakan jaket kulit berwarna cokelat tua, memakai kaca mata. Pria itu segera pergi setelah memberikan amplop kepada Awan. Awan mengintip ke dalam amplop tersebut memastikan isinya sesuai dengan apa yang dia inginkan.

Setelah memastikan sekitar, Awan meninggalkan tempatnya tadi dan buru-buru pergi. Kemudian dia menaiki salah satu taxi online yang tadi sudah dia pesan saat berjalan pergi meninggalkan gedung pertokoan tadi.  Tidak membutuhkan waktu yang lama Awan telah  tiba di gedung apartemen tempatnya tinggal sekarang, di tangan kirinya dia membawa makanan untuk makan siangnya bersama Iva nanti. Awan membuka pintu apartemennya itu dan di sana sudah menunggu Iva yang berkecak pinggang, wajahnya serius seakan marah.

"Nggak gini juga caranya!"

Scouring The Past (TAMAT - REVISI)Där berättelser lever. Upptäck nu