15 | Woman Without Face

356 32 5
                                    

Indra tiba di depan sebuah rumah yang tampak tidak berpenghuni itu. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan lumut tebal. Cat pada temboknya sudah terkelupas. Rumput pada halamannya sudah menutupi sebagian dari rumah itu. Sebelumnya Indra sudah bertanya kepada tetangga apakah rumah tersebut ada penghuninya atau tidak. Menurut para tetangga rumah tersebut ada penghuninya. Mereka menyebutnya dengan wanita tanpa wajah.

Lingkungan di daerah itu sangat sepi. Antar rumah berjarak cukup jauh dan terpencil. Indra dengan langkah pasti membuka pintu pagar besi yang sudah berkarat itu. Ketika pagarnya didorong ke samping, mengeluarkan suara berdecit yang menyakitkan telinga. Beberapa kali dia memanggil namun tidak ada tanda-tanda kehidupan dari dalam rumah. Sampai akhirnya gagang pintu itu bergerak ke bawah, pintu berwarna cokelat tua dan usang itu terbuka sedikit. Muncul seseorang yang sudah dipastikan adalah seorang wanita dengan rambut terurai sebagian ke depan. Dia hanya menampakkan dirinya sebagian. Wanita itu menutup wajahnya dengan kain berwarna hitam.

"Siapa?" tanyanya dengan suara sedikit parau.

"Perkenalkan Bu, saya Indra. Saya ingin berbicara dengan Ibu ... Sukma!" Wanita yang menutupi wajahnya itu tampak terkejut. Bola matanya membulat besar. Kemudian dia berusaha menutup pintu rumahnya namun, ditahan oleh Indra yang memiliki tenaga lebih besar dari wanita itu.

"Saya Keponakan Bagus Wijaya," lanjut Indra sambil menahan agar pintunya tidak kembali tertutup.

"Bagus?" tanyanya masih dengan suara parau. Kini dia tidak berusaha menutup pintu masuk rumahnya.

"Masuklah" katanya kemudian membuka pintu rumahnya lebih lebar. Indra masuk ke dalam rumah itu. Suasana redup dan gelap. Tidak ada apa-apa di dalamnya. Hanya ada kursi-kursi kayu yang sudah tua dan rapuh.

"Duduklah, Nak" ucapnya lagi. Wanita itu berjalan dengan kaki terseret-seret menuju ke dalam rumahnya meninggalkan Indra sendirian di sana. Tidak lama kemudian dia muncul kembali membawa segelas air putih di tangannya. Dia duduk di salah satu kursi kayu yang tampak rapuh itu diikuti oleh Indra.

"Bagus dibunuh!" kalimat pertama yang wanita itu ucapkan sontak membuat Indra terkejut walaupun dirinya sudah menerka hal itu sebelumnya. Bahwa kematian Om nya ini adalah pembunuhan terencana.

"Dia dibunuh tepat saat dia akan pergi menjumpai anak itu di Palembang," ucapnya parau pandangan matanya menerawang.

"Palembang?" tanya Indra bingung.

"Ya, bukan kah mereka  pindah semua ke Palembang setelah berhasil aku hancurkan rumah tangga Ibu dan Bapaknya itu?" terlihat senyum tersungging dari balik cadar yang dia gunakan untuk menutupi wajahnya itu.

"Tidak mereka bukan pindah ke Palembang!" Jawab Indra kemudian.

"AH, berarti Bagus cukup pintar untuk membodohi mereka," kemudian dia tertawa.

"Siapa mereka ini?" Indra bertanya langsung seakan tidak ingin berbasa basi lagi.

"Dia ..., pria yang menyuruh ku menghancurkan rumah tangga Bagus dan istrinya adalah seorang pria yang kejam. Membunuh adalah hal kecil untuknya. Tidak ada yang memanggil ku dengan sebutan Sukma selain komplotan ku dan Bagus. Makanya tadi aku sangat terkejut, aku pikir kau adalahh salah satu dari anak buah mereka yang kembali mencari ku," Lanjut wanita itu masih dengan pandangan menerawang.

"Kenapa Iva? Apa hubungan mereka? Ada dendam apa di antara mereka? Sehingga mereka melakukan hal jahat sejauh ini?" terlihat sedikit rasa marah hamper menguasainya namun, cepat-cepat dia mengendalikannya kembali. Dia harus bias mendapatkan informasi yang cukup untuk mencari siapa sebenarnya Iva ini. Kabut ini harus segera di hilangkan agar segalanya masuk akal dan jelas.

"Ketahuilah, Aku di sini hanya anak buah yang disuruh oleh majikannya. Tugasku adalah masuk kedalam kehidupan Bagus, menggodanya dan menghancurkannya. Tentu hal tersulit adalah menggodanya karena dia begitu mencintai putri dan istrinya itu. Kesalahan Bagus hanya satu, dia pria yang terlalu baik ..." kembali dia menerawang, mengingat masa lalu.

"Bagaimana pun aku berhasil mendapatkan hati Bagus, mereka berpisah. Istrinya membawa anak itu pergi. Saat itu Bagus bilang mereka berdua pindah ke Palembang. Ketika aku tau informasinya, langsung saja aku melaporkannya ke atasanku. Bulan demi bulan berlalu, tahun berjalan dengan cepat aku benar-benar jatuh cinta pada Bagus." Dia mendengus.

"Paman mu adalah orang yang baik, terlalu baik bahkan. Kemudian dia mengetahui ada yang tidak beres telah terjadi di kehidupannya. Dia mulai mencurigaiku. Entahlah apakah dia mencurigai ku dari awal atau tidak. Saat itu aku tau dia mencari tau tentang tiga orang korban yang bersama dengan anak itu ketika bayi. Tentu saja hal itu harus ku laporkan, jika tidak maka akan ada malapetaka lebih besar yang akan menimpa ku, juga menimpa Bagus,"

"Kebakaran di rumah sakit, kemunculan ku yang misterius, beberapa kejadian yang di alami anak itu yang Bagus ketahui dari mantan istrinya itu membuatnya berfikir. Dia pria pintar, bukan?"

"Saat itu dia marah besar kepadaku ketika mengetahui kebenaran dariku dan pergi meninggalkanku, hal itu tidak aku laporkan kepada atasanku tapi kau tau? Mereka memilki banyak mata-mata. Aku takut Bagus terluka tapi apa yang kau harapkan dari pria berdarah dingin itu. Mereka membunuhnya, kecelakaan itu hanya kamuflase semata. Semua itu direncanakan dan di hari yang sama mereka melakukan ini padaku juga, sebagai peringatan atas pengkhianatan ku." Wanita dengan suara parau itu membuka cadar yang sedari tadi menutupi wajahnya. Wajahnya melepuh hingga ke leher dan sebagian tangannya. Bibirnya menyatu bersama kulit wajahnya.

"Apa yang mereka lakukan pada wajah anda?" tanya Indra yang masih terkejut melihat wajah Sukma.

"Air keras, mereka menyiramkan nya ke wajahku. Mereka menghancurkan satu-satunya yang aku banggakan dari diriku ini ... Ya mereka memang seperti itu, selalu saja ... kejam!" ucap Sukma.

"Apa mereka bekerja berkelompok?" tanya Indra lagi penasaran. Sukma memperhatikan wajah Indra dengan seksama. Tidak menjawab pertanyaan yang barusan.

"Bramantyo!" Ucapnya tiba-tiba. "Dia adalah atasan tertinggi kami. Semua perintah datang dari dirinya. Hubungan mereka apa ... aku takut tidak bisa memberikan infromasi yang kau harapkan. Satu hal yang perlu kamu waspadai, pintar-pintar lah memilih orang yang ingin kau percayai jika kau masih ingin mengusut kejadian ini. Jangan mempercayai pihak kepolisian. Mereka mempunyai orang-orang dalam dengan pangkat yang tinggi di sana. Hati-hati lah!" Dia tersenyum, walau tetap mengerikan ada tatapan hangat di sana sejenak.

#

"Pergi lah ke klinik Anugerah di daerah Banyuwangi, akan ku kirim alamat lengkapnya. Jika kamu ingin memulai lebih dulu tanpa aku. Aku akan balik ke Surabaya beberapa hari lagi. Ingat Iva, Hati-hati dan jangan terburu-buru!" Seru Indra dari dalam mobilnya ketika akan kembali ke Yogyakarta setelah bertemu dengan wanita itu.

"Ya oke, jangan khawatir" sahut Iva melalui ponsel nya di sana.

"Ingat Iva, jangan mudah percaya dengan orang-orang yang baru kamu temui dan mereka menawarkan bantuan padamu. Paham!" Lanjutnya dengan ekspresi serius di balik kemudi.

"Iya!" sahut Iva dan sambungan pun terputus. Hati Indra masih tidak tenang meninggalkan gadis itu sendirian di sana tapi dia masih harus mencari beberapa informasi di Yogyakarta agar bisa memulai pencarian di Surabaya.

Indra mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang tinggi kembali menuju Yogyakarta. Hanya lampu-lampu jalan yang menemani dirinya sepanjang jalan kembali. Saat itu menunjukan pukul 10 malam. Sekitar satu jam lagi dia akan tiba di pusat kota Yogyakarta..

Suara hantaman terdengar begitu keras di tengah sunyi malam saat itu. Mobil Indra berguling di jalan, terseret ke tepian begitu pula mobil satu lagi yang menabrak mobil Indra yang tengah melaju dengan kecepatan tinggi itu. Kemudian hening, hanya suara jangkrik yang terdengar setelah suara hantaman tadi dan ... Kedua mobil itu meledak.

Kobaran apinya menerangi jalan yang sepi.


Scouring The Past (TAMAT - REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang