11 | Time To Say Good Bye

380 35 10
                                    

Dengan lembut angin membelai wajahnya. Rambutnya yang pendek serta bergelombang itu ikut terbang menutupi wajah ayu gadis itu. Beberapa hari yang lalu dia memetong sedikit poninya sehingga menjadi lebih pendek dari semula. Dia berdiri setegar mungkin di hadapan pusara Ibunya. Diam tak bersuara. Tidak ada tangis di sana. Dibacanya secara berulang-ulang nama yang tertulis di batu nisan itu. Sempat terlintas di pikirannya, apakah mungkin Mama nya itu tahu tragedi yang terjadi di keluarga beberapa tahun lalu juga merupakan salah satu rencana jahat orang yang ingin mengakhiri hidupnya. Mungkin Mama nya sudah tahu, karena Mama percaya akan apa yang disampaikan oleh Papa. Mungkin!

Tidak ada lagi yang bisa dia tanyai untuk memastikannya. Baik Mama atau Papa nya direnggut darinya.

"Selamat tinggal, Ma."

"Kalau Mama masih di sini pasti Mama akan mencegah aku pergi seperti yang dilakukan Tante Tati."

"Tapi Iva harus pergi, agar Tante, Om, Kak Aryo, dan Ayu akan tetap aman di sini."

"Mama pasti ngerti, Kan?" cepat dihapusnya air mata yang mengalir di pipi putihnya itu.

"Iva akan cari tau, Iva akan temukan mereka semua! Mereka harus membayar atas apa yang Iva alami ini," gadis itu menarik nafas panjang, dia meletakan jari-jari jenjangnya di depan bibirnya yang merah, mengecup nya hangat dan menyentuh batu nisan bertuliskan nama Ibunya.

"Doa kan, Iva! Iva sayang Mama!" Iva pergi dan meninggalkan pusara Ibunya. Hatinya berat meninggalkan, tapi kepergiannya dapat membuat hidup orang lain lebih panjang. Dia merasa tidak ada yang perlu disesalkan sekarang. Mereka telah mengambil segalanya dari Iva. Maka apa yang telah diambil itu, akan dia tuntut sebagai pembalasan.

Dia berjalan tegar, tidak ada lagi keraguan kini. Tangannya sibuk menyibakkan rambut yang menutupi wajahnya. Sekali lagi, dia telah yakin.

"Kita punya cabang di Surabaya, Va. Apa tidak lebih baik mutasi saja ke sana jadi tidak perlu mengajukan resign." Ujar Pak Aryansah yang merupakan Kepala Cabang di perusaahaan Iva bekerja.

"Kemarin juga ditawarkan demikian, Pak oleh Pak Sym. Saya pikir-pikir lagi memang lebih baik saya resign. Urusan saya ini akan cukup menyita waktu dan tenaga juga, Pak. Jadi yah, lebih baik resign." Jawabnya tegas.

"Tidak mau pikir-pikir lagi? Kamu sudah mengabdi di perusahaan ini dengan prestasi yang baik dan cukup lama. Sayang kalau saya bilang." Bujuk Pak Aryansah.

"Saya sangat tersanjung, Pak. Keputusan saya sudah bulat. Saya rasa jalan ini yang terbaik." Ucapnya yakin. Akhirnya Pak Aryansah menyerah dan memberikan izin kepada Iva untuk mengajukan resign walau pengabdiannya di perusahan itu sudah cukup lama. Bisa dikatakan Iva salah satu senior yang berprestasi hingga mampu meraih jabatan yang dia tempati saat ini.

Tentu bukan keputusan yang mudah untuknya, selepas kuliah Iva langsung melamar di perusahaan ini dan memulai karir nya sebagai staff administrasi, kemudian melakukan rotasi di berbagai bidang pekerjaan dan akhirnya menjadi pimpinan administrasi di sana.

"Kenapa sampe harus resign, apa polisi saja tidak cukup?" rengek Ayu saat mengantarkan sahabatnya itu keluar dari gedung perkantoran.

"Kamu tau, yang diurusin polisi kan bukan kasus ku saja. Lagian masalah ini kompleks banget. Lagian, aku harus yakin kalian aman di sini." Iva memandang Ayu dengan tatapan sedih. Ayu langsung memeluk sahabatnya itu. Atu tau betul jika dia sudah yakin maka susah menumbangkan keyakinannya namun, terkadang Iva terlalu buru-buru mengambil tindakan itulah yang membuat Ayu cemas.

"Hati-hati, tetap kontak aku. Kamu harus laporan sama aku ya, Va. Jangan sampe aku mati penasaran di sini! Rengek Ayu.

"Hush ... "

"Aku pasti akan hubungi kamu terus." Ucapnya.

"Besok aku ikut antar ke bandara ya" ucap Ayu lagi ketika Iva sudah duduk di dalam mobil kesayangannya itu.

"Iya, Oke! Bye .. " Iva kemudian pergi meninggalkan Ayu di parkiran Kantor.

Iva mengendarai pelan laju mobilnya, menikmati terakhir kali rute jalan yang sehari-hari dia lewati. Belasan tahun dia mengisi hari-hari yang indah bersama Mama di kota ini. Masa-masa sulit dilewati dengan mudah karena saling memiliki. Masa-masa bahagia mereka nikmati berdua. Kini semua hanyalah kenangan yang akan dia jadikan kekuatannya. Kekuatan untuk mencari, mencari alasan dibalik peristiwa yang dia alami. Orang gila macam apa yang begitu ingin menghancurkan kehidupannya. Dia merasa tidak pernah mengganggu hidup siapapun. Papa dan Mama nya pun begitu.

Senja mulai tergelincir pergi. Lampu-lampu jalan mulai menyala terang. Iva mengunjungi beberapa tempat favorit Mama nya dulu. Hanya berhenti dan mengenang kenangan bersama. Sekali pun tidak pernah terbersit di pikirannya dia akan sendirian seperti ini. Semua terasa direnggut paksa darinya.

Iva terduduk lelah di sofa ruang tamu rumahnya, mengamati setiap jengkal sisi-sisi rumahnya. Dia akan merindukan suasana ini. Dia akan merindukan rumahnya. Dia menarik nafas panjang dan bangkit dari tempat dia duduk, menaiki anak tangga dengan gontai dan mulai mengemasi barang-barang yang akan dia bawa. Dia hanya akan membawa satu tas punggung bersamanya. Dia bukan hendak tamasya atau sejenisnya, hal ini leih seperti akan pergi berperang.

"Semua sudah kan?" Tanya Tante Tati sekali lagi, pertanyaan kelima untuk Iva hari ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Semua sudah kan?" Tanya Tante Tati sekali lagi, pertanyaan kelima untuk Iva hari ini.

"Sudah, Tan" jawabnya singkat sambil melihat Kak Aryo yang tersenyum.

"Lalu, di sana gimana? Kita nggak punya kenalan siapa-siapa di Surabaya, Nak" ucap Tante Tati cemas.

"Indra sudah ke sana duluan, Tan. Dia yang akan cari akomodasi aku selama di sana. Dia punya banyak teman di sana, jadi Tante tenang aja." Jelas Iva, entah mungkin yang kesekian kali. Tante Tati sama persis dengan Mamanya, bahkan lebih parah jika cemas terhadap sesuatu. Mama akan lebih cool dalam menghadapi masalah. Selama tinggal di Balikpapan dia memang merasa lebih utuh dan lengkap bersama Mama nya, tante Tati yang sudah seperti Mamanya, Om Visnu yang menggantikan peran Ayah untuknya, kak Aryo teman sekaligus mengambil peran kakak laki-laki untuknya.

"Jangan terlalu percaya sama si Indra itu, tetap kontak kami. Mengerti!" ujar Aryo tiba-tiba.

"Kenapa begitu?" tanya Tante Tati bingung.

"Iva sendiri yang bilang tidak ada kebetulan di dunia ini, apalagi setelah peristiwa-peristiwa yang kita lalui. Hati-hati, waspada, tetap kontak kami, tanya jika ragu dan ini Va, yang selalu kamu remehin, jangan terburu-buru mengambil keputusan. Kamu tuh keras kepala banget." Ucap Aryo tegas.

"Bener banget! Jika butuh diskusi hubungi kami, please!" sambung Ayu cemas.

Iva melihat om Visnu yang hanya mengamati perbincangan kami. Rasanya juga berat melepaskan yang ada di sini di Balikpapan. Semua kenangan yang indah ada di sini. Hidup Iva dan Mama nya di mulai dengan baik di sini.

Iva memeluk satu-satu kerabatnya itu, seraya mengucapkan kalimat perpisahan. Ayu menangis sejadi-jadinya membuat Tante Tati tidak jadi menangis karena harus menenangkan nya. Iva tersenyum, dia akan merindukan suasana ini.

"Aku pergi ya!" Ucapnya berat.

Mereka semua hanya diam dalam isakan, Ayu masih menangis dalam pelukan Tante Tati, dia masih belum rela membiarkan sahabatnya itu. Jika ini hanya liburan mungkin saja akan berbeda. Iva pergi meninggalkan semuanya, sebuah perjalanan yang bisa dikatakan berbahaya mengingat apa yang dia alami di kota nya sendiri.

Dia melambaikan tangannya, sekali lagi untuk mengucapkan selamat tinggal. Dia siap menghadapi apa pun nanti yang akan menantinya di surabaya. Surabaya tempat di mana dia dilahirkan. Tempat yang mungkin saja dapat dia temukan jawaban atas pencariannya atu mungkin tidak.

Scouring The Past (TAMAT - REVISI)Where stories live. Discover now