"Udah Van! Gua males berdebat! Gua gak mau berantem, gua cape!" ujar Vanya yang sudah tak mau kembali berdebat, percuma jika ia terus beradu mulut dengan Mevan, dirinya tidak akan dipercayai.

"Maaf Nya."

"Pulang Van, lo udah ngejelasin kan? Swkarang silahkan pulang," usir Vanya yang memasang sudah malas berhadapan dengan Mevan, dirinya butuh waktu untuk sendiri, butuh waktu untuk menenagkan hati dan pikirannya.

Mevan mengangguk, bagaimana pun juga Vanya memang membutuhkan waktu untuk sendiri.

"Jangan marah yah, jangan nangis lagi. Gua permisi pergi," pamit Mevan yang langsung berlalu dari hadapan Vanya.

"Gak ada obat untuk luka yang tak terlihat Van," ucap pelan Vanya yang langsung menutup pintu kamarnya.

***

Tidak seperti biasanya hujan datang saat langit tengah cerah-cerahnya, apa jangan-jangan hujan tengah menemani Vanya yang tengah sedih namun terlihat biasa saja itu.

Sepertinya memang benar, hujan datang saat lagit tengah cerah-cerahnya, seperti Vanya yang mencoba baik-baik saja saat dirinya tengah tidak baik-baik saja.

Kejadian kemarin masih belum bisa Vanya anggap angin lalu, karna baginya pelukan yang Renata berikan pada Mevan itu bukan sebatas ucapan terimakasih saja, tapi ada maksud tertentu. Membuat Mevan nyaman.

"Gua tau lo lagi gak baik-baik aja."

Vanya menoleh, ah sial! Dirinya sedang ingin sendiri tanpa di ganggu, tapi Andra malah datang dan duduk di hadapannya.

"Ada apa?" tanya Andra dengan tangan yang bertumpu pada meja.

"Harusnya gua yang nanya ke lo Andra, ada apa?" ucap Vanya setelah menghela nafas.

"Lutry ngejauhin gua," kata Andra to the point.

Vanya merasa sedikit lega mendengar itu, ternyata Lutry menurutinya.

"Itu emang harus," ucap Vanya dengan santai, bahkan terlihat santai, tanpa merasa kasihan pada Andra yang tengah memasang wajah sedih.

"Lah kok gitu?" tanya Andra dengan kening berkerut.

"Lutry terlalu berharga untuk lo buat terbang kemudiam lo jatuhin Dra, mending lo cari cewek lain buat lo phpin, jangan ade gua."

"Lah... lah... kok lo ngomongnya gitu sih Nya? Gua gak ada niatan buat php-in Lutry, gua serius sama dia."

"Gak ada niatan? Astaga Andra... itu omong kosong!"

"Lo gak percaya sama gua?" raut wajah Andra kini terlihat tak suka.

"Percaya ke orang brengsek kaya lo mah yah gak mungkin lah!" kata Vanya dengan tanpa beban saat mengucapkannya.

"Vanya!" Andra menatap Vanya dengan tatapan tajam.

"Gua emang brengsek, tapi seorang brengsek bakal berubah kalo udah nemu orang yang bener-bener dia cari! Jangan selalu menganggap gua itu brengsek, ada waktunya gua berubah untuk jadi lebih baik!" ucap Andra dengan nada dingin, berlalu pergi dari hadapan Vanya yang hanya biasa diam.

Tapi... apa Vanya bisa mempercayai Andra?

***

"Ayo pulang," ajak Mevan yang sudah berdiri di samping Vanya.

"Duluan aja," tolak Vanya tanpa menatap Mevan.

"Anya..." panggil pelan Mevan.

"Gua mau pulang sama Rega," kata Vanya yang langsung menjinjing tas nya, melewati Mevan yang tengah menatapnya.

Vanyanya masih marah padanya.

.
.
.

Tidak seperti biasanya jalanan macet, membuat Vanya merasa bosan di dalam mobil, padahal dirinya sudah ingin cepat-cepat untuk tidur, guna kembali melupakan kejadian kemarin yang sama sekali tidak bisa Vanya lupakan.

"Vanya yang lagi galau ternyata kaya gini yah, gua gak suka," ujar Rega tiba-tiba, menyilangkan ke dua tangannya yang di letakan di belakang kepalanya.

Vanya menoleh pada Rega.

"Gua gak suka lo galau kaya gini Nya, ini bukan Vanya yang gua kenal! Ini Vanya orang lain!" kata Rega dengan nada tak suka.

"Berisik Ga, gua lagi gak mau ngebahas itu," balas Vanya sambil menyenderkan tubuhnya, menghirup nafas dalam-dalam, kemudian dikeluarkan dengan nada yang terdengar sangat lirih.

"Gua gak ngebahas kesitu, tapi barusan... lo sendiri yang seolah meminta gua buat ngebahas kesitu," kata Rega yang membuat Vanya diam.

"Masih mau nangis?" tanya Rega yang ternyata diangguki oleh Vanya.

"Oke. Untuk hari ini lo boleh nangis sepuas yang lo mau, tapi janji sama gua! Besok lo gak boleh nangis lagi, pura-pura bersikap biasa aja seolah gak terjadi apa-apa, bisa?"

Vanya menganggukan kepalanya layaknya anak kecil, ke dua tangannya mencekram erat rok sekolahnya, dirinya sudah tak bisa menahan diri lagi, ia ingin kembali menangis untuk kembali membuat hatinya merasa tenang.

Rega melepaskan sabuk pengamannya, menarik Vanya ke dalam pelukanya, dan lagi-lagi cara itu berhasil membuat Vanya kembali menangis

Rega mengusap punggung Vanya yang bergetar, orang yang ceria bahkan kelewat ceria ternyaka kini tengah rapuh, perasaan gadis di pelukannya tengah di permainkan oleh semesta dengan hati yang di korbankan, selalu merasa sesak dan sakit hanya karna luka yang di ciptakan karna terlalu cinta dan takut kehilangan.

Saat menenagkan Vanya Rega tak sengaja melihat  orang yang membuat Vanya seperti ini tengah berboncengan dengan gadis lain, tangannya terkepal kuat, yang kapan saja siap untuk kembali meninju pria itu.

Ini keterlaluan! Gadis di pelukannya saja masih merasa terluka, namun pria itu malah dengan seenaknya seperti ini.

Rega bersyukur karna Vanya tengah berada di pelukannya, jika Vanya melihat kekasihnya tengah berboncengan dengan gadis yang Vanya benci, bisa-bisa sesak di hati Vanya akan semakin parah.

"Dari detik ini, gua adalah orang pertama yang akan ngelindungi lo, orang pertama yang maju saat lo di sakiti, orang pertama yang meminjamkan bahunya dengan suka rela saat lo lagi membutuhkanya, orang pertama yang akan meluk lo saat lo lagi ngerasa sedih," ucap Rega dengan mata tak lepas memperhatikan Mevan dan Renata yang berada tepat di samping mobilnya.

Ah! Dirinya kembali beruntung karna membawa mobil, bukan motor.

***

Tbc💜

Jangan lupa vote dan komennya:)
See you next time
Tiaraatika4.

𝐕𝐚𝐧𝐕𝐚𝐧.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang