20 | Sebuah Kekecewaan

Start from the beginning
                                    

"Aku akan membawa gadis ini. Kalian berdua, cepat hajar pemuda kampungan itu!"

"Dengan senang hati" Keduanya pun melangkahkan kaki dengan cepat ke arah panji. Dua orang, yang satunya bertubuh besar dan kekar kemudian yang satunya lagi bertubuh kurus. Si pria kekar memberi serangan telak tepat ke arah dadanya dan tubuh Panji pun terlontar ke belakang karena tidak siap menerima serangan tersebut. Ia jatuh tersungkur sambil memegangi dadanya, dari kejauhan ia melihat Ratih tengah dibawa pergi. Terlihat Ratih yang berusaha keras memberontak sambil terus menyerukan namanya. Namun, kini seluruh indera pendengarannya dipenuhi oleh gelak tawa kedua pria yang menyerangnya. Ia pun semakin geram. Amarahnya tak terbendung lagi.

"Apa ini yang kau sebut pukulan? Payah."

Tawa keduanya pun tiba-tiba berhenti sesaat setelah menatap Panji yang mulai bangkit kembali.

"Mari, biar kutunjukkan pukulan yang sebenarnya itu seperti apa."

Dengan begitu cepatnya Panji mengambil seribu langkah dan langsung menghantam balik dada pria yang barusan memukulnya. Terlihat jelas sekali pukulan yang diberikan Panji itu jauh berlipat-lipat lebih kuat jika dibanding yang ia terima. Hal itu terbukti saat terlihat darah segar memuncrat dari mulut pria itu.

Kini tidak ada suara tawa lagi.

Si pria kurus hanya berdiri sambil menatap keadaan temannya. Panji dapat membaca dari raut mukanya sepertinya ia hanyalah pengecut yang berlagak berani dan berkuasa dengan penampilan banditnya.

"Jika kau tidak ingin merasakan hal yang sama kau bisa menyuruh temanmu yang satunya lagi untuk melepaskan wanita itu."

Dengan langkah gemetaran ia berlari mengejar satu temannya yang membawa Ratih.

"Apa katamu? Dasar bodoh, melawan pemuda kampung saja kau tidak sanggup!"

Pria itu tak habis-habisnya memarahi rekannya. Dari kejauhan Ratih melihat Panji berjalan ke arahnya. Tanpa pikir lama kemudian Ratih menginjak kaki pria itu dengan sekuat tenaga hingga ia kesakitan dan melonggarkan genggamannya. Itu adalah peluang bagi Ratih, kemudian ia melepaskan diri dengan memutar lengan kesisi telapak tangannya kemudian menekuk pergelangan tangannya dan menghentaknya sekencang mungkin.

Sementara Panji masih berurusan dengan satu orang yang tersisa, Ratih juga tak ambil diam di sana, ia ingin ikut andil dalam menghajar para bandit ini.

Setelah merasa kesakitan, pria itu membalikkan badannya lagi dan meluncurkan serangan ke Ratih. Dengan gesit Ratih menunduk, membuat pukulan pria itu hanya mengibas di udara. Ratih tersenyum penuh mengejek, kemudian dengan sigap dan berani ia memukul pelipis, rahang, dan hidung pria itu. Akhirnya penjahat itu pun mundur beberapa langkah dan sekarang kesempatan Ratih untuk menyerang dengan memukul perut pria itu dengan siku.

Penjahat itu belum menyerah juga, ia meraih lengan Ratih lalu mencengkeramnya dengan kuat. Namun Ratih segera memutar lengannya hingga posisi berbalik ke arah pria itu yang kesakitan sekarang. Ratih mendorong tubuhnya dengan kaki hingga tersungkur dan saat pria itu bangkit lagi, tanpa basa-basi Ratih langsung menendang bagian vitalnya dengan lutut ditekuk. Pria itu benar-benar kesakitan sekarang, sambil memegangi selangkangannya ia mengerang kesakitan di atas tanah.

"Ouh, yang terakhir itu tadi pasti sangat menyakitkan," seru Panji sambil mengernyitkan dahi. Kemudian ia berjalan sambil berdecak kagum pada kemampuan gadis itu.

"Sudah! Tunggu apa lagi? Ayo pergi dari sini, cepat!" teriak Ratih.

Keduanya pun segera berlari tanpa menghiraukan erangan para bandit itu.

***

Ini sudah malam hari, bintang bertabur di langit malam. sungguh indah.

ABHATIWhere stories live. Discover now