7 | Seruling Merdu

9.3K 1.3K 9
                                    

Burung-burung kecil terbang bebas ke sana-kemari menyambut datangnya padi yang mulai menguning. Angin berembus tak terlalu kencang, namun cukup untuk membuat rambut kedua gadis di atas kereta kuda itu menari-nari kecil di udara.

Sejak meninggalkan pasar Mataram, Ratih tidak bisa melupakan kejadian itu. Ia selalu memikirkan pemuda itu, pemuda tampan dengan garis mata hitam yang tak dapat Ratih gambarkan. Bahkan, ingin rasanya ia bertemu dengannya lagi walau hanya sekedar untuk mengucapkan terima kasih. 

"Kau tak apa Ratih? Sepertinya kau masih memikirkan kejadian di pasar tadi," tanya Laras mengacaukan lamunannya.

"Ah? Tidak juga," ia menggeleng cepat.

"Hmm...mulai sekarang jangan terlalu jauh dariku, ya!" serunya.

Ratih hanya mengangguk sambil tersenyum kecil kemudian kembali mengarahkan pandangannya pada bentangan sawah yang cukup luas itu. Terlihat ada sekelompok wanita di tepian sawah. Mereka memakai topi yang sama, topi bundar dengan bagian atas membentuk kerucut yang agak lebar memayungi kepala mereka.

"Kira-kira, apa yang sedang mereka lakukan?" tanya Ratih sambil menunjuk dengan dagunya ke arah sekumpulan wanita tadi yang lebih nampak seperti sebuah keluarga. Sangat hangat kebersamaan mereka, diiringi dengan tawa.

Laras memandang sambil tersenyum ke arah sekumpulan wanita itu. "Mereka adalah para wanita tani yang bekerja menumbuk padi, sementara para suami mereka melakukan pekerjaan di sawah seperti memanen padi yang telah menguning, lihat," kini Laras menunjuk sekumpulan lelaki yang tengah bekerja keras di tengah sawah sambil sesekali menepis keringat di pelipis mereka.

"Mereka terlihat senang sekali, sepertinya panen tahun ini menghasilkan padi yang cukup banyak. Dengan hasil bumi yang melimpah ruah seperti itu, biasanya mereka akan mengadakan pesta rakyat besar-besaran dan upacara penyambutan musim bercocok tanam berikutnya."

Ratih manggut-manggut mendengar penjelasan Laras, entah kenapa ia tertular untuk tersenyum ketika melihat para petani itu tertawa bersama.

Tidak lama kemudian kereta kuda berhenti di sebuah pemukiman warga, bisa dibilang sebuah perkampungan. Tidak terlalu ramai karena Ratih dapat menebak semua orang tengah pergi ke sawah saat ini. Hanya beberapa anak kecil berlarian kegirangan dan beberapa orang masih berlalu lalang. Ratih menutup kembali kepalanya mengenakan kain sebelum akhirnya turun bersama Laras. Semua barang bawaan ditinggalnya di kereta kecuali setandon pisang yang diturunkan dari atas kereta.

Laras masih terlihat sedikit berbincang-bincang dengan kusir itu, sementara Ratih tak terlalu mendengarkan karena perhatiannya lebih tertarik pada permainan anak-anak kecil di depannya. Mereka memainkan permainan tradisional yang rasanya jarang sekali ia temui di zamannya. 

"Terimakasih banyak, Kisana."

Setelah menyadari percakapan Laras dengan lelaki paruh baya itu selesai, Ratih berbalik dan melihat kereta kuda sudah melaju menjauh.

"Lho..lho.. Barang-barang kita?" tanyanya sambil mengulurkan tangan seakan mencoba meraih kereta kuda yang telah berlalu pergi.

"Tenang, barang belanjaan kita akan dibawakan kisana tadi ke Pawitra" ucapnya dengan kepayahan mengangkat setandon pisang raja yang dibelinya di pasar tadi. Ratih pun bergegas membantunya.

"Paman itu...namanya Kisana?" tanyanya berbisik sembari mencondongkan kepalanya ke Laras dengan bola mata tetap mengarah ke kusir itu.

Laras menahan tawa, Ratih dapat mengetahui itu dari ekspresinya yang berubah. Ratih hanya tersenyum kecut.

"Kisana itu panggilan untuk seseorang yang belum kita kenal," jelas Laras dengan nada yang diselipi tawa kecil.

Ratih menahan malu dengan mencoba tersenyum masam.

ABHATIWhere stories live. Discover now