20 | Sebuah Kekecewaan

5.7K 844 52
                                    

Rakai terus menahan belati dengan susah payah agar pisau itu tak bergerak dan malah memperparah keadaan. Erangannya terdengar begitu menyayat, tapi di tengah hutan seperti ini tidak mungkin ada satu pun orang yang mendengar dan mengetahui keberadaannya. Sudah sejak lama orang-orang yang menyerangnya barusan pergi begitu saja meninggalkannya. Membiarkannya berdua bersama dewa kematian dan menghabiskan napas dengan cara yang menyakitkan.

"Raka!"

Tanpa menatap siapa yang datang pun Rakai sudah tahu pasti pemilik suara itu.

"Tidak seharusnya kau berada di sini. Pergi! Sebelum mereka semua melihatmu!"

"Siapa? Siapa yang telah menyerangmu!?"

"Pergi Laras....aaarrgh..." Kini belati itu benar-benar tertancap semakin parah.

"Tunggu...maafkan aku tapi tolong tahan ini."

Dengan sigap Laras mencabut belati itu karna apabila dibiarkan maka racun yang dioleskan di mata belati itu akan terus menyebar. Laras tak kuasa mendengar erangan Rakai yang semakin memekakkan telinga, tapi ini harus dilakukan demi menyelamatkan nyawanya. Dengan sigap pula kini ia membuka sebuah bungkusan ramuan dan mulai mengoleskannya di bagian yang terluka kemudian menutupnya dengan sebuah kain yang ia sobek dari kain selendangnya.

Ia sudah terbiasa cekatan seperti ini jika mengenai masalah obat-obatan dan ramuan herbal saat di pasraman. Bahkan ia sendiri selalu mempelajari metode pengobatan dan menghafal sangat banyak mantra penyembuhan.

"Kau tidak boleh mati pangeran."

Kini ia menaikkan kepala Rakai sedikit dan meminumkannya sebuah ramuan lain yang sudah ia siapkan sambil merapalkan mantra. Setelah meneguk cairan itu seketika seluruh tubuh Rakai seperti mati rasa. Pandangannya juga mulai menghitam. Sebelum ia sampai benar-benar kehilangan kesadarannya ia sempat melihat Laras yang tengah sibuk mengurusi lukanya. Mulut gadis itu tak henti-hentinya merapal mantra dan terlihat pula cahaya yang bersinar dari kedua telapak tangannya yang terus menekan luka itu.

***

"Letakkan senjatamu itu di atas tanah!"

Panji tidak langsung menuruti permintaan pria kekar itu. ia tetap teguh dengan posisinya.

"Cepat lakukan!" Perintahnya lagi, kini sambil lebih dekat mengarahkan mata pisau ke leher Ratih.

Melihat kondisi yang seperti ini, Panji lekas melemparkan belatinya kemudian mengangkat kedua tangan.

"Sudah, lihat!? Sekarang lepaskan wanita itu!"

"Berikan terlabih dahulu semua hartamu, koin emas atau yang lainnya," sahut pria yang satunya.

"Apa kalian tidak lihat? Aku tidak memiiki apapun dasar bodoh!"

"Beraninya kau!" Salah satu pria dari ketiganya melangkahkan satu kakinya sambil menghunuskan belati yang siap menusuk ke arah Panji. Panji tidak goyah sama sekali, ia malah membalas tatapan tajam pria itu.

"Tahan sebentar saudaraku..." Pria yang menahan Ratih itu pun kembali angkat bicara.

"Tidak masalah pemuda ini memiliki harta ataupun tidak, yang terpenting kita kan memiliki gadisnya"

"ha ha ha..." ketiganya tertawa secara bersamaan. Semakin keras tawa mereka semakin terdengar mengerikan di telinga Ratih. Apa maksud perkataan pria barusan itu sebenarnya? Apa yang akan dilakukan mereka padanya? Jantungnya benar-benar berdegup kencang. Ingin rasanya ia menghantam wajah pria ini kalau saja belati itu tidak berjarak satu senti dari lehernya.

Mendengar tawa mereka Panji juga terlihat semakin geram. Kedua tangannya terkepal dan rasanya sudah sangat gatal sekali untuk ingin segera menghajar mereka.

ABHATIWhere stories live. Discover now