5 | Bhumi Mataram

10.9K 1.3K 11
                                    

Pagi itu masih gelap dan suasana Keraton Medang terasa masih sangat sunyi dan sepi, di kala kabut-kabut terurai mengelabui hanya ada beberapa obor yang menghiasi sepanjang jalan bangunan megah tersebut.

Ini adalah waktunya untuk pergantian penjagaan dimana para prajurit yang berjaga semalaman suntuk akan digantikan dengan jam kerja prajurit lain.

Pada saat yang bersamaan, ini adalah waktu yang tepat untuk melarikan diri.

Kampa memasuki bilik kamar Putra Mahkota secara diam-diam sesuai dengan yang diperintahkan padanya semalam. Di dalam, Kampa melihat sosok mengenakan pakaian warga biasa dengan topi tani yang menutupi sebagian wajahnya.

"Hey! Siapa kau!" teriaknya sambil mengeluarkan keris yang tersembunyi di balik kain yang melilit pinggangnya.

Kampa mulai menyerang penyusup tersebut. Namun, dengan sigap lelaki itu menangkis serangannya dan membuatnya jatuh berlutut dengan kedua tangan terkunci ke belakang.

"Bisa tidak kau tidak perlu berteriak seperti itu?" kecamnya.

Suara itu terdengar sangat familiar di telinga Kampa kemudian pemuda itu melepaskan capilnya dan menunjukkan wajahnya pada Kampa yang masih terkapar di lantai.

"Maafkan aku," ucapnya sambil melepaskan Kampa.

"Pangeran? Maafkan aku karena telah menyerangmu. Sungguh aku tidak mengenalimu, Pangeran" Kedua matanya melotot menunjukkan ekspresi terkejut, reflek ia langsung menyembah-nyembah di bawah kaki Rakai Pikatan.

"Baguslah, itu artinya semua orang juga tidak akan mengenaliku," balasnya.

"Kenapa Anda berpakaian seperti ini?" tanya Kampa.

Rakai tidak langsung menjawab pertanyaan pengawalnya itu. Ia mengambil buntalan kain dan menyerahkannya kepada Kampa.

"Kau harus pakai ini juga," perintahnya.

Kampa menerima buntalan kain yang diberikan padanya itu. Dipandanginya satu-persatu isi bundalan tersebut dengan dahi yang mengerut.

"Aku tidak mau kepergianku di kawal oleh rombongan pengawal kerajaan jadi kita akan pergi pagi ini secara diam-diam dengan menyamar sebagai warga biasa saja," jelasnya.

Rakai mengenakan kembali capilnya dan mebawa satu buntalan kain lagi untuk perbekalan.

"Aku akan pergi terlebih dahulu. Saat penjagaan gapura kosong, Kau ambil kuda dan aku akan menunggumu di seberang hutan bagian selatan," sambungnya.

Rakai bertolak pada jendela bilik kamarnya, berancang-ancang untuk segera melompat. Belum sempat Kampa menjawab sepatah kata pun, pria itu telah lenyap dan dalam beberapa saat bayangannya sudah tak terlihat lagi dari sana.

***

Kicau merdu kenari memanggut indah dalam lantunan. Sayup mata enggan membuka sampai sebuah tirai disibak dan membuat cahaya sang surya menusuk kelopak mata. Perlahan Ratih membuka kedua matanya, hal pertama yang ia dapati adalah bayangan seorang wanita yang menyikap tirai jendela bambu. Ia mengusap kedua mata, mencoba memfokuskan pandangannya. 

"Selamat pagi Ratih," ucap Laras.

"Oh...selamat pagi," balasnya, sudut matanya berkerut, menandakan bahwa matanya saja masih belum dapat menyambut cahaya sang surya.

Laras memperlihatkan senyuman paginya yang begitu menawan. Paras cantiknya mengalahkan cahaya sang mentari. Penampilannya yang anggun mengenakan kemben berwarna biru laut dengan rambut panjang yang sebagian ia gelung ke atas dan sebagian lagi disampirkan di pundak kanannya. Ia terlihat tengah membawa beberapa kain yang disampirkan di lipatan lengannya.

ABHATIWhere stories live. Discover now