19 | Sayatan Luka

5.8K 843 54
                                    

"Apa yang sedang mengganggu pikiran Anda Pangeran?" tanya Kampa. Seharian ia melihat Rakai hanya diam dan termenung seakan tengah memikirkan sesuatu.

"Aku tidak sedang memikirkan apapun," balasnya datar.

Kampa mengembuskan napas gusar, sejak pagi pria itu tidak menyentuh makanannya, ia bahkan tidak melakukan latihan pagi seperti biasanya.

"Maafkan aku, tapi apakah Anda tengah memikirkan Ratih?"

"Diam! Jangan menyebut namanya lagi!" hardik Rakai.

Kampa terdiam, sedangkan pandangan Rakai tajam mengarah pada mata pedang kesayangannya yang merupakan pemberian Resi Adwaya.

"Lupakan dia Pangeran! Kita tidak pernah tahu siapakah sosoknya yang sebenarnya, bahkan Anda tau sendiri saat Resi Adwaya menolak untuk menjawab kepergian gadis itu. Aku yakin pasti ia telah diusir dari pasraman. Engkau tau sendiri bagaimana Resi Adwaya menjunjung tinggi kehormatan bangunan suci ini. Tidak ada yang bisa keluar masuk begitu saja, jadi ada kemungkinan bahwa wanita itu adalah musuh, mata-mata, penghianat atau bahkan..."

Tiba-tiba Kampa menghentikan kalimatnya begitu menatap ujung pedang milik Rakai Pikatan sudah tinggal berjarak satu jengkal dari lehernya. Ia menelan ludah.

"Tutup saja mulutmu atau pedangku yang akan dengan senang hati menutupnya," lirihnya.

Kampa tidak berani lagi menatap langsung mata pangeran itu, pandangannya saja sudah sama tajamnya dengan pedang yang terhunus itu.

Beberapa saat kemudian Rakai menurunkan pedangnya, menyarungkannya kemudian beranjak pergi meninggalkan Kampa dengan langkah lebar.

Kampa hanya bisa mengembuskan napas lega, tapi ia merasa cemas karena baru saja membuat marah atasannya. Entah firasatnya benar atau tidak, tapi sejak bertemu gadis itu, Kampa dapat melihat berbagai perubahan dari sang pangeran. Sifatnya yang semula dingin, kemudian mencair begitu saja saat berjalan keluar pasraman berdua dengan gadis itu dan sifatnya yang terkenal tak acuh kemudian berubah hangat dan penuh perhatian saat Ratih tak kunjung membuka mata saat tengah tak sadarkan diri. Dan saat gadis itu tak ada lagi di sini, maka semua sifat bawaannya pun kembali begitu saja.

Seketika Rakai bangkit dari tempatnya dan berjalan menjauh meninggalkan Kampa yang masih terdiam cukup lama sambil tersenyum samar.

Sepertinya ia merasa sang pangeran tengah jatuh cinta untuk yang pertama kalinya.

***

Ratih membuka matanya perlahan dan betapa bersyukurnya ia saat mendapati kilauan cahaya matahari yang menyilaukan pandangannya seketika. Kemudian ia memeluk tubuhnya sendiri sambil beberapa kali mencoba mengecek apakah segala sisi tubuhnya masih utuh. sambil menepuk-nepuk pipinya sendiri ia mencoba memastikan apakah dirinya tidak bermimpi atau semacamnya.

"Tenang saja, kau masih hidup" Itu adalah kalimat pertama yang ia dengar. tepatnya dari seseorang yang tengah duduk membelakanginya sambil menyiapkan sesuatu yang tengah di panggang di atas perapian.

Ratih tak menjawab, ia masih kebingungan dengan kondisinya saat ini. Kini mereka berada di sebuah tepian sungai degan tebing yang menjulang tinggi.

"Bagaimana bisa ini terjadi?"

Panji menatap Ratih tatkala gadis itu melontarkan pertanyaan yang membuatnya bingung.

"Apa maksudmu?"

"Maksudku, kita baru saja jatuh dari ketinggian itu. Harusnya kita sudah mati bukan?"

Panji tertawa kecil. Sejujurnya ini adalah kali pertama Ratih melihatnya tertawa seperti ini.

ABHATIWhere stories live. Discover now