3 | Pelarian

11.6K 1.5K 31
                                    

"Tenanglah, ini aku."

Ratih mengurungkan niatnya untuk berteriak. Ia merasa lega Panji kini berada di sampingnya. Namun, jantungnya masih berdebar, beberapa orang di depan sana masih terus menerus menggedor pintu rumah dengan kasar.

"Siapa mereka Panji?" Terlihat dari manik matanya, Ratih sangat ketakutan.

"Tidak ada waktu untuk menjelaskan, kita harus pergi dari sini terlebih dahulu, ayo cepat!" Panji membantu Ratih berdiri. Kemudian mereka berdua keluar melalui pintu belakang rumah yang berbatasan langsung dengan hutan. Panji menggandeng tangan Ratih memasuki hutan yang gelap dengan kabut-kabut malam yang menyeramkan.

Ratih berlari dengan langkah yang terseret-seret. Ini semua karena ia tidak terbiasa mengenakan kain jarik seperti ini ditambah lagi kakinya sering menyandung sesuatu karena keadaan malam yang gelap. Jadi ia tidak bisa melihat jalan yang dilaluinya dengan begitu jelas.

setelah berjalan cukup jauh, Panji tiba-tiba berhenti. Hal tersebut membuat Ratih bertanya-tanya mengapa mereka harus berhenti di tengah hutan seperti ini.

"Menunduk!" Panji membalikkan tubuhnya dan dengan sigap menekan kepala Ratih ke bawah hingga mereka berdua berjongkok. Ratih mencoba mengintip dari semak-semak karena penasaran sebenarnya apa yang tengah diwaspadai oleh mereka berdua.
Benar saja, ia melihat cahaya remang-remang dari beberapa obor yang tengah dibawa sekumpulan orang dengan seseorang yang berada di atas kuda.

"Siapa mereka?" tanya Ratih berbisik.

"Ssshh..." desis Panji sambil meletakkan jari telunjuk di bibirnya.

***

"Sebaiknya kita segera kembali ke kerajaan, Pangeran."

Rakai yang dengan gagah duduk di atas kuda putih kesayangannya sama sekali tidak menggubris apa yang dikatakan pengawal setianya itu. Walau seharian ini ia telah mendapatkan tiga ekor rusa buruan, namun dirinya masih merasa tidak puas. Sedangkan beberapa pengawal kerajaan berjaga agak jauh dari posisi Putra Mahkota sesuai dengan perintah yang ia berikan. Para hewan akan takut dengan beberapa obor yang mereka bawa, maka ia memerintahkan agar para pengawal itu menjaga jarak dengan posisisnya.

"Aku ingin mendapatkan rusa jantan yang nantinya tanduk rusa itu akan kujadikan hiasan dinding di kamarku." Pandangan Rakai tak dapat berhenti mengawasi keadaan sekitar.

"Tidak ada Pangeran, Ini sudah malam. Para rusa sudah tidur semua."

"Kalau begitu, kenapa kau tidak ikut tidur juga?"

Mata Rakai balik memandang pengawal setianya yang kini terlihat lebih rendah darinya. Ia mengarahkan mata panah tepat di urat leher Kampa.

Kampa menelan ludah. Seluruh tubuhnya bergetar.

"Ha ha ha...Aku hanya bercanda, dasar bodoh."

Ia menurunkan busurnya kembali. Kemudian menarik tali kekang kudanya dan berlalu dari hadapan Kampa.

"Kita akan kembali."

Kampa tertawa-tawa kecil sambil menghembuskan napas lega. Ia berjalan mengikuti langkah tapak kuda putih milih Rakai.

Tanpa dikomando, tiba-tiba Rakai membalikkan badannya seratus delapan puluh derajat dengan posisi siaga. Lekas dilepaskannya sebuah anak panah yang langsung meluncur melewati Kampa yang melotot menatap aksi tiba-tiba sang Putra Mahkota tersebut.

"Pangeran sebaiknya jangan bercanda seperti ini," ucapnya gemetaran.

Rakai turun dari kudanya dan berjalan lurus ke arah Kampa. Namun, pandangannya tidak mengarah ke Kampa melainkan pada semak belukar yang baru saja menjadi target anak panahnya barusan.

ABHATIWhere stories live. Discover now