2 | Putra Mahkota

15.1K 1.6K 50
                                    

"Dengarkan Ayah!"

"Tidak! Tidak ada yang perlu aku dengarkan lagi!"

Kemudian seseorang yang menyebut dirinya ayah itu berdiri di hadapannya. Berusaha menghentikan gadis muda yang sedari tadi kepayahan menyeret sebuah koper besar.

"Dengar, Ayah menyanyangimu. Ayah tidak ingin..."

"Jika Ayah menyayangiku, Ayah pasti mengerti perasaanku! Nyatanya Ayah lebih mendengarkan semua perkataan wanita jalang itu!?" bentaknya.

Seketika itu juga sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.

Gadis itu memegangi pipinya, matanya memerah berkaca-kaca. Kemudian ia pun berlalu pergi tanpa menoleh sedikitpun.

"Tetap di tempatmu gadis muda!"

Ia tetap tidak peduli. Dan terus melangkah menuju ambang pintu.

"Ratih Fairuza Malik!"

Ia berhenti sejenak kemudian berbalik.

"Tak usah perdulikan aku, aku bukan putrimu lagi ayah, urusi saja isteri barumu itu, 'Ayah'." ia menekan sepenggal kalimat yang diucapkannya 'Ayah'.

"Ratih!"

"RATIH!!!"

***

Ratih tersentak bangun. Paru-parunya memompa udara dengan cepat sehingga terasa sakit di dadanya. Seluruh tubuhnya bergetar. Ia menatap keadaan ruangan dengan lampu teplok yang mulai kehabisan minyaknya sayu-sayu meredup dan kemudian mati.

Cahaya matahari dengan lancang menerobos masuk melalui daun jendela kecil dari bambu. Punggungnya terasa sakit karena amben tempatnya tidur amat keras. Ia memikirkan apa yang dimimpikannya barusan. Seorang pria paruh baya dengan beberapa kerutan kecil diwajahnya mencoba menghentikan dirinya yang hendak pergi entah kemana. Siapa dia? Apa maksudnya mimpi itu? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab di pikirnya.

Ia segera turun dan berjalan menuju daun jendela, memandang sang surya dengan angkuhnya di singgasana langit yang biru. Sorot matanya turun, ia tidak mendapati Panji di amben depan rumah. Mungkin Panji sudah berangkat ke pasar pagi-pagi sekali tanpa ingin mengganggu tidurnya.

Ratih menghirup udara pagi yang menyegarkan dan membuat dirinya merasa lebih baik. Andai saja Panji tidak memberinya aturan untuk tetap tinggal dirumah, pasti saat ini ia sedang berjalan-jalan di pekarangan rumah yang indah berhias bunga matahari dan mawar yang tersusun rapi.

Tapi, apalah daya? Yang hanya bisa ia lakukan hanyalah menikmati semua keindahan itu dari balik jendela bambu. Dilihatnya beberapa ayam mematuk dan mengais-ngais tanah. Ratih merasa heran bercampur kagum dipikirnya Panji memang tinggal sendirian dirumah ini tapi, sebagai seorang laki-laki ia sangat merawat rumah dan pekarangannya dengan baik.

Tidak ingin menampakkan diri berlama-lama, Ratih segera menutup jendela dengan kain yang tersampir di sudut daun jendela ketika beberapa warga desa mulai berlalu lalang dengan aktivitas mereka masing-masing.

***

Tidak ada seorang pun yang berani berbicara di balairung istana. Semua mata tertuju pada deretan orang-orang yang mengenakan kain warna hitam dan tengah diikat dengan rantai besi di tengah ruangan.

Terlihat seorang Raja yang merupakan Raja kelima kerajaan Medang atau Mataram Dinasti Sanjaya. Usianya memang mulai renta, namun ia masih dengan gagah duduk di atas singgasana emasnya dan kini tengah dikobar api kemarahan. Pandangannya menusuk pada keenam orang yang bersimpuh di hadapanannya.

ABHATIWhere stories live. Discover now