41 | Dimensi yang Berbeda

4.1K 657 54
                                    

Pagi yang tenang itu telah diwarnai oleh dentingan suara senjata yang menderu-deru di udara. Di sebuah arena latihan, disajikan pemandangan dua orang yang tengah berlatih pedang. Terlihat dari kejauhan, tubuh gagah kedua pria itu tampak bersinar ditimpa cahaya pagi keemasan. Tubuhnya yang lihai tampak gesit memainkan pedang. Sekali dua kali ia berkelit dan membuat daun-daun kering di sekitarnya beterbangan.

Rakai memadukan ilmu kanuragannya dengan teknik pedang yang telah ia kuasai. Gerakan yang dibuat Rakai sungguh rumit dan tidak mudah ditebak, hal ini membuat lawan di depannya cukup kewalahan.

Saat hampir mencapai titik kemenangan, tiba-tiba orang di depannya itu berhasil membalik keadaan dan membuat dirinya nyaris terpojok. Rakai menukik ke udara untuk menghindari serangannya dan dengan gesit ia menghujam ke arah pria itu dengan cepat.

Rakai membuat gerakan ilusi untuk mengelabui lawannya. Sejurus kemudian ia berhasil menguasai situasi kembali dan membuat pedang lawannya itu terlepas dari genggamannya hingga terpental jauh.

Pria yang menjadi lawannya itu tampak terperangah menyaksikan kehebatan Rakai. Setelah usai dengan latihan pagi ini, ia bertepuk tangan perlahan.

Rakai hanya tersenyum kecil sambil menyarungkan pedangnya kembali. Kemudian ia menundukkan kepalanya sebagai penghormatan kepada pria tua itu.

"Luar biasa Yang Mulia! Anda benar-benar telah menguasai semua jurus tingkat tinggi dengan sempurna." Cahyadawa tersenyum lebar, ia tak henti-hentinya kagum dengan kehebatan muridnya itu.

"Terima kasih Guru, ini semua juga berkat Guru Cahyadawa yang telah mengajariku semua teknik ini."

"Kau memang sangat cepat belajar muridku, bahkan sepertinya aku sudah bukan lagi tandinganmu sekarang, ha ha ha ...."

Cahyadawasuna tertawa keras. Candaan itu pun disambut Rakai dengan tawa kecil, "Guru, Anda terlalu memuji," balasnya.

Seketika perhatian keduanya teralihkan kepada seseorang yang baru saja datang menghampiri keduanya. Mereka berdua mengangkat kedua tangan secara bersamaan sebagai bentuk penghormatan kepada sosok pria tua berjubah putih itu.

"Salam Resi," ucap salam keduanya bersamaan.

Adwaya hanya menganggukkan kepala. Sorot tatapan teduhnya menatap ke arah Rakai sambil tersenyum melihat kemajuan muridnya yang begitu pesat itu.

"Kau adalah satu-satunya muridku yang telah mencapai tingkat tertinggi, anakku. Aku ucapkan selamat kepadamu," ujarnya.

"Terima kasih Resi, tapi aku tidak akan berhenti sampai di sini saja," balas Rakai. Walaupun ilmunya telah berada di tingkat tertinggi, ia tetap saja belum puas jika belum mengalahkan Darsana di medan laga.

"Ha ha ha ... bagus-bagus," timpal Adwaya dengan tawanya.

Berdiri di belakang Rakai, Cahyadawa terlihat tersenyum lebar. Kedua guru itu benar-benar merasa bangga atas hasil pencapaian Rakai selama ini. Sejak berumur sepuluh tahun, anak itu selalu bersungguh-sungguh dalam setiap latihannya. Kini, Resi Adwaya merasa lega karena telah berhasil mendidik Rakai bukan hanya menjadi seorang kesatria yang tangguh, melainkan juga raja yang bijaksana.

Di tengah percakapan itu, tiba-tiba Cahyadawa maju beberapa langkah ke depan sambil mengucapkan sesuatu kepada Rakai. "Yang Mulia, jika tidak ada yang lain lagi, maka hamba mohon diri untuk mengawasi latihan para murid yang lain," pamitnya sambil menjura.

"Ah iya, baik Guru. Terima kasih atas bimbingannya." Rakai membungkukkan badannya untuk membalas hormat.

Setelah Cahyadawa beralih memberi salam kepada Adwaya, ia pun segera beranjak pergi dari tempat tersebut dan meninggalkan mereka berdua.

ABHATIWhere stories live. Discover now