44 | Pengabdian dan Kesetiaan

3.1K 535 35
                                    

"Yang terjadi kepada Yang Mulia Pramodawardhani hari ini nyaris saja membuat nyawanya dalam bahaya," ucap Adwaya gelisah. Sejak mendengar semua kejadian yang diceritakan Laras padanya pria tua itu selalu tampak tidak tenang.

Di dalam ruangan pendopo agung yang dikelilingi para guru besar pasraman itu, semua orang tak habis-habisnya membahas mengenai permasalahan ini. Guru Cahyadawa menduga bahwa Rakryan Darsana telah melepaskan segel terlarang sehingga membuat pria itu mencapai kekuatan tingkat tingginya. Dugaan ini pun disetujui oleh Resi Adwaya.

"Ini artinya Mataram benar-benar dalam bahaya, Guru!" seru salah satu cantriknya.

Resi Adwaya mengeraskan rahangnya. Inilah ketakutan terbesar yang tidak pernah ia inginkan. Darsana telah bergerak terlalu cepat, sedangkan tingkat kanuragan Pramodawardhani masih belum terlalu sempurna untuk menghadapinya.

"Itu benar," lirih Adwaya.

"Untuk itu kita harus segera menghentikannya," sahut Rakai. Pria yang baru saja memasuki ruangan itu seketika disambut hormat oleh semua orang.

Setelah Rakai tiba di hadapan Resi Adwaya, guru besar itu pun mengangguk setuju, tapi sekali lagi keraguan akan kemenangan itu tampak jelas mengingat jumlah cantriknya tidak sebanding dengan pasukan besar kerajaan.

"Bagaimana dengan surat yang kita kirimkan untuk Kerajaan Syailendra?" tanya Rakai pada Dresta.

Cantrik itu menggeleng, "Tidak ada jawaban, Yang Mulia."

Rakai tampak mengembuskan napas gusar. Sepertinya Balaputradewa masih menyimpan dendam terhadap dirinya, untuk itulah ia tidak akan percaya apalagi mengirim bantuan sekalipun ini menyangkut keselamatan nyawa saudarinya sendiri yakni Pramodawardani.

"Lalu bagaimana Yang Mulia? Jumlah pasukan kita tidak akan cukup jika harus berperang melawan prajurit kerajaan."

"Kalau begitu satu-satunya cara hanya dengan membuat pasukan kerajaan kembali ke pihak kita," jawab Rakai.

Semua orang setuju, namun berbeda dengan Laras yang merasa tidak yakin akan hal ini.

"Menarik simpati ribuan prajurit itu tidak akan mudah, apalagi selama mereka berada di bawah pengaruh Darsana," sahut Laras.

Rakai terlihat memikirkan ucapan Laras dengan cukup serius. Lagi pula, tidak akan mudah bagi mereka untuk memercayai bahwa dirinya masih hidup setelah semua kejadian yang beruntun ini.

"Kita masih bisa!" Seseorang menyahuti sambil setengah berteriak dan itu sontak membuat semua orang menoleh ke arah sumber suara. Rupanya itu adalah Ratih yang berjalan dengan langkah cepat memasuki ruangan. Semua orang membungkukkan badannya seketika, berbeda dengan Rakai yang mengerutkan keningnya tatkala melihat Ratih. Dengan kondisinya yang masih belum pulih sepenuhnya harusnya ia tetap berada di biliknya untuk beristirahat.

Melihat kehadiran gadis itu di sini, seketika membuat Laras berlari ke arahnya "Ratih, apa yang kau lakukan di sini? Lukamu-"

Ratih menahan Laras untuk membantu memapahnya. Ia melepaskan kembali pegangan tangan Laras sambil tersenyum meyakinkan bahwa keadaannya sudah baik-baik saja sekarang ini. Akhirnya ia pun melanjutkan langkahnya.

"Kita masih bisa merebut pasukan kita kembali, karena itu memang harus dilakukan!" serunya.

"Tapi Ratih ..." Panji mencoba menyela. Namun dengan cepat Ratih kembali menahannya dan memaksanya untuk kembali duduk di tempatnya semula.

"Kalian semua tenang saja karena aku sudah memikirkan caranya," ucap Ratih dengan senyum berbinar-binar.

Semua orang pun mulai mendengarkan rencana Ratih. Sebagian manggut-manggut karena merasa itu adalah ide yang bagus.

ABHATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang