19 | Sayatan Luka

Start from the beginning
                                    

"Apa kau meragukan kemampuanku?"

Ratih terdiam tak mengerti.

"Bukankah aku sudah bilang, aku akan membawamu sampai ke Syailendra dengan selamat, bagaimana pun caranya"

Ratih tersenyum, entah mengapa setiap mendengar kalimat itu bibirnya dengan spontan selalu tertarik ke atas. Kemudian ia tak berminat untuk menanyakan apapun lagi, kini ia sudah mulai terbiasa dengan segala keajaiban dan keanehan yang terjadi di hidupnya. Sebagai mantan murid Resi Adwaya, pemuda itu memang bisa terbilang sakti. Dan Ratih memakluminya karena sejauh yang ia tahu, memang kebanyakan manusia yang hidup di jaman kerajaan seperti ini memiliki kemampuan magis yang tinggi.

Kemudian Ratih bangkit dan mulai mendekat ke arah pria tersebut. Ternyata ia tengah membakar dua ekor ikan di atas perapian tersebut. Kemudian Panji memberikan satu tusuk ikan pada gadis itu dan tanpa banyak bicara keduanya menikmati makanan tersebut dengan lahapnya.

"Jadi, bagaimana cara kita bisa sampai di Syailendra sekarang? Tidak ada kereta ataupun kuda yang kita miliki sekarang," gerutunya.

"Tentu saja berjalan kaki," balasnya enteng.

Ratih hanya memelototinya sesaat kemudian ia melahap ikan bakar yang ada di genggamannya. Selama menghabiskan makanannya, Ratih baru menyadari bahwa jubah yang ia pakai ini tetap kering walaupun ia telah terjun di sungai.

"Itu adalah jubah milik Ibuku, pemberian seorang maharesi yang sangat menyayangi Ibuku. Dulu ia menggunakannya sebagai perlindungan dari pengejaran tentara kerajaan," jelasnya saat dirinya seakan tahu bahwa Ratih tengah bertanya-tanya tentang jubah itu.

"Memangnya, apa yang terjadi?" tanyanya penasaran.

Panji menatap Ratih seketika, ia tahu kalau barusan ia salah bicara dan kini ia harus memberi penjelasan pada gadis itu.

"Hmm...sepertinya sudah tidak ada yang perlu ditutupi lagi, kau dan aku sudah tahu sekarang bahwa kebenarannya kau adalah Pramodhawardani, Putri Mahkota kerajaan Syailendra. Maka aku harus mengatakan bahwa sebenarnya aku ini..."

"Iya?"

"Aku juga berasal dari keluarga kerajaan."

Ratih menutup mulutnya dengan kedua tangan sambil memelototi pria itu.

"Kau serius?" tanyanya tak percaya.

Pria itu hanya menganggukkan kepala.

"Namaku adalah Aryanata. Hanya orang pasraman saja yang mengetahui rahasia besar ini. Dan aku sendiri sejak bayi tidak tumbuh besar di istana."

"Jika kau tidak tinggal di istana lalu bagaimana generasi penerus kerajaanmu? Siapa penerus tahtanya nanti?"

Panji hanya menanggapinya dengan tawa kecil.

"Kenapa kau tertawa?" tanya Ratih kebingungan.

"Jangan berpikiran bahwa semua anggota kerajaan dapat menduduki takhta, Ratih. Apalagi seseorang sepertiku, tidak pantas menduduki posisi apapun. Ibuku adalah seorang selir raja, dan saat malam dimana kematian sang permaisuri karena terbunuh oleh racun, di situlah ibuku dituduh sebagai pembunuh sang permaisuri. botol racun ditemukan di kamarnya dan apa yang aku lakukan? Saat itu aku masih bayi, seusia dengan Putra Mahkota yang baru dilahirkan tiga hari sebelum kematian permaisuri. Malam itu, di tengah pengejaran tentara kerajaan yang berusaha membunuh kami, jubah inilah yang membantu menyamarkan jejak Ibuku."

"Satu-satunya tempat perlindungan yang tersisa saat itu adalah Pasraman Pawitra. Resi Adwaya sangat menghormati Ibuku walaupun ia hanya seorang selir kerajaan karena sang Resi adalah pembela kebenaran, sedangkan kebenaran yang sebenarnya adalah Ibu tidak pernah membunuh permaisuri. Sejak malam itu pencarian dari istana terus dikerahkan dan Ibuku memutuskan untuk menjadi pendeta wanita dan mengasingkan diri, maka ia meninggalkanku yang masih bayi dibawah asuhan sang resi demi keselamatanku. Aku diberi nama Panji dan sejak saat itu aku tumbuh bersama Kahyang Larassati, dan saat usia kami masih kanak-kanak akulah yang menjadi sandarannya saat ia kehilangan kedua orang tuanya. Kemudian saat aku dewasa, aku memutuskan untuk meninggalkan pasraman dan memulai hidupku sendiri sebagai rakyat biasa," jelasnya.

ABHATIWhere stories live. Discover now