Chapter 40

3.7K 256 154
                                    

Estrellas adalah sebuah pulau yang berada di tengah-tengah samudra. Pulau dimana para penyihir tinggal. Pulau yang menjadi impianku dan Seira untuk kami kunjungi setelah mendengar cerita-cerita dari Ludovick bersaudara.

Kini, aku melihatnya langsung. Semua yang dikatakan Zayn benar; kota ini begitu memukau dengan bangunannya yang unik. Serta sihir yang mengalir bagai aliran darah dalam nadi, seolah menopang segalanya; bagaimana sihir begitu hidup. Aku bisa merasakannya dengan sangat jelas.

Kepakan sayap lebar Gavin membawa rombongan kami terus menembus kota dalam naungan langit biru bermandikan sedikit sinar matahari. Rupanya dinding kristal yang membentengi Estrellas mampu menepis pengaruh Kegelapan. Di depan sana, aku melihat lima patung raksasa yang berdiri begitu berwibawa. Dari jubah kebesaran mereka mengalir air yang mengisi kolam. Dan, dari pinggir kolam, air seolah meluncur ke atas lalu jatuh ke dalam.

"Air mancur Gorlassar. Lima Tetua penyihir yang agung. Mereka-lah yang memerintah para penyihir dalam waktu yang cukup lama sampai tiga diantaranya kembali ke Alphose. Hanya Gildor dan Dreyar yang masih menetap hingga masanya selesai." Suara Zayn kembali terngiang di kepalaku seakan penjelasannya baru kemarin. "Saat kau melihat air mancur Gorlassar, itu berarti kau sudah berada di tengah kota. Tapi aku menyebutnya sebagai perbatasan antara kota penyihir dengan kastel Gorlassar."

Senyum kecil merekah di bibir saat bangunan kastel yang megah mulai tampak kian membesar di depanku, sedangkan air mancur Gorlassar semakin mengecil di belakang. Enam penyihir (tiga dari klan Schneider, tiga dari klan Wilheim) berdiri  menyambut kami dengan gaya formal.

Kemudian, salah satu penyihir klan Schneider berkata, "keempat Gorlassar sudah menunggu." Lalu, pintu ganda di belakang mereka terbuka, keenam penyihir berbalik dengan serempak untuk memimpin jalan.

Hampir semua yang dikatakan Zayn benar. Kastel ini memiliki langit-langit tinggi dengan lengkungan runcing, ornamen-ornamen rumit, pilar-pilar penopang, jendela-jendela tinggi. Entah bagaimana perpaduan semua ini terasa begitu megah. Rombongan berbelok ke koridor lainnya, langkahku sedikit melambat. Iris hazelku menyisir cepat, bisa dikatakan koridor ini lebih luas dari koridor lainnya serta menyuguhkan karya seni yang sangat indah. Deretan patung penyihir berukuran lebih besar dari ukuran manusia sebenarnya seolah berdiri di dalam dinding dengan dua pilar yang dijalari tanaman ivy bagai bingkai.

Di sisi kanan, terdapat lima patung penyihir berdiri dengan agung dan berwibawa. Yang langsung kukenali sebagai Lima Tetua penyihir. Gorlassar Pertama. Sedangkan sisi seberang, patung demi patung berderet rapi dengan pilar-pilar yang membingkai satu persatu patung. Kesadaran menghampiriku, ini patung para Gorlassar....
Langkahku terhenti di salah satu patung Gorlassar. Wajahnya sangat cantik, manik hijaunya menatap dengan wibawa, ada kesan penuh kuasa di sana tetapi juga ada kehangatan. Dalam balutan jubah putih, rambut pirang pucat bergelombangnya yang tergerai tampak menonjol. Aku memerhatikan lambang pada list hitam di jubahnya: burung gagak.

"Ravenna," bisikku pelan. Aku kembali menelusuri patung dihadapanku sekali lagi, ia sangat berbeda dari penyihir yang ada dalam visionku. Apa yang terjadi padanya?

"Entahlah. Sejujurnya aku tidak begitu paham apa yang terjadi padanya. Ayahku pernah berkata bayangan dan kegelapan memiliki untaian tali yang berhubungan. Kegelapan merupakan sesuatu yang kuno dan kuat. Siapapun akan tergelincir jika jaringnya sudah mencekikmu erat." Suara Zayn kembali melantun dalam kepalaku, mengingatkan percakapan kami bertahun-tahun lalu. "Schwartz salah satu klan penyihir terkuat dan berpengaruh, kejatuhannya bersama klan-klan lain membuat bangsa kita ... Terpecah. Begitu kata Gideon."

Melewati beberapa patung Gorlassar, langkahku kembali terhenti. Memandang wajah jelita yang menatap dengan penuh wibawa layaknya seorang ratu. Dalam balutan jubah kebesarannya, ia tampak sangat anggun juga agung. Lambang burung hantu yang membentangkan sayap tersulam dalam benang-benang emas indah. Seketika perasaan rindu menyeruak dalam hatiku, membelit begitu kuat sampai rasanya sakit. "Griselda Maximilian," bisikku pelan.
Aku mewarisi rambut brunnate ibu, Seira mewarisi garis wajah; manik abu-abunya; juga rambut brunnate-nya yang indah.

Ljosalfar : The Light Elves Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang