Chapter 1

22K 1K 58
                                    

10 tahun kemudian.

"Selena, cepat bangun!"

Selimut yang menutupi hingga ke ujung kepala ditarik paksa, cahaya mentari menusuk mataku yang masih terpejam. Menggeliat malas, kututup mataku dengan lengan. Menolak beranjak dari kasurku yang nyaman.

"Tutup lagi tirainya, Seira," pintaku pada kakakku. Dan tentu saja ia tak mengacuhkanku, ditariknya tanganku hingga terpaksa aku terduduk di kasur masih dengan mata tertutup.

"Clara membuat pai apel," bisiknya di telingaku.

Bagai mantra ajaib, mataku terbuka, kutajamkan penciumanku. Ah, benar! Ini aroma pai apel yang baru keluar dari panggangan. Tanpa menunggu lama aku langsung turun dari kasur, bergegas menuju kamar mandi, dan melakukan ritual pagiku. Setelah selesai aku segera menuju ruang makan. Seperti dugaan, Seira dan nenekku sudah duduk manis di meja makan kami yang sederhana.

"Kau terlambat bangun lagi, Selena," ucap nenek Clara sambil menyuap potongan pai ke dalam mulutnya.

Aku duduk di hadapan Clara, kemudian menusukkan garpu pada potongan pai lantas memasukkannya ke dalam mulut. Rasanya sangat lezat sekali, pai buatan Clara bagiku adalah pai terlezat di seluruh desa.

"Aku akan mengantarkan gandum ke tuan Horace," ucap Seira sambil bangkit berdiri, lalu mencuci piringnya.

Bisa dibilang tuan Horace adalah orang yang ditakuti sekaligus berkuasa di desa Eregion. Ia adalah sosok yang haus akan kekuasaan, licik, dan tamak. Desas-desus mengatakan, bahwa ia ingin menggulingkan raja Igor dan menjadikan kerajaan Eriador berada dalam genggamannya. Beberapa masalah kabarnya juga ia buat demi menjatuhkan orang kepercayaan raja, menendang mereka agar  bisa berkuasa.

Dia juga pandai memanipulasi keadaan sehingga ia bisa terbebas dari bukti serta tuduhan. Saat ini tuan Horace merupakan orang kepercayaan raja, ia memanfaatkan itu untuk meneror desa-desa penopang kerajaan Eriador. Dia membuat peraturan baru, menaikan pajak, lalu mengambil keuntungan lagi ketika hasil panen dan perternakan dijual. Membuat para penduduk desa semakin menderita dan terpuruk.

"Jangan pulang terlalu larut, ingat sebaiknya pulang sebelum matahari terbenam."

Seira mengambil jubah pergi, memakainya lantas melemparkan jubah milikku padaku. "Iya. Kami pergi dulu, Clara." Seira mengambil sekarung gandum, kemudian kami melangkah keluar rumah.

Pagi hari jalanan cukup ramai, banyak orang berlalu lalang entah mereka hendak ke ladang ataupun berkebun. Anak-anak berlarian meramaikan suasana desa. Sepanjang perjalanan kami mengobrol, tertawa, serta bertegur sapa dengan para penduduk ketika berpapasan.

Dari kejauhan, sudah terlihat prajurit-prajurit penjaga tuan Horace berdiri tegap. Tak jauh dari sana kereta kuda yang terbilang cukup mewah pun terlihat. Sungguh berbanding terbalik dengan kehidupan kami yang bisa dikatakan sengsara.

Tuan Horace adalah pria paruh baya, berkepala plontos dan bertubuh gemuk. Ia duduk santai di meja yang sudah disediakan, senyum licik yang selalu ditampilkan membuatku jijik.

"Pagi, Nak!" sapanya dengan suara yang dibuat-buat manis. Seira tidak menjawab, ia langsung saja menaruh sekarung gandum di atas meja.

Tuan Horace melihat sekilas karung gandum, lantas melambaikan tangannya kepada salah satu prajurit. Sekarung gandum itu pun dipindahkan ke kereta yang ditarik sepasang kuda hitam.

"Sedikit sekali. Aku mengharapkan lebih dari ini. Ah, ini upahmu, Nak!" Senyum licik tak lepas dari bibirnya saat ia menaruh kantung kecil berisi koin di atas meja.

Seira mengambil kantung tersebut, lalu menyimpannya ke dalam jubah. "Terima kasih, Tuan." Ia pun membalikkan tubuh sambil menarikku pergi.

Aku tahu dari cara Seira mengucapkan 'terima kasih' kalau ia sangat membenci tuan Horace. Aku bisa memakluminya, karena hampir seluruh penduduk desa memiliki perasaan yang sama.

Ljosalfar : The Light Elves Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang