Chapter 35

3.2K 396 128
                                    

Kakiku kembali menjejak tanah, pandanganku mulai membentuk siluet bangunan-bangunan yang kemudian menjadi jelas. Aku berada di kota.

"Di mana orang-orang? Kenapa kota ini sepi sekali?" Kepala Apel menoleh ke kanan-kirinya dengan alis bertaut. Ia memperhatikan setiap bangunan, jendela yang terbuka serta tirai-tirai yang melambai. "Perasaanku tidak enak, Pai."

Aku (sebagai orang ketiga) memindai sekitarku. Ini kota Wriela. Kota urutan nomer dua sebelum perbatasan(begitulah sebutanku untuk kota ini) dan seingatku selalu ramai. Tapi sekarang, penduduknya seakan hilang ditelan lautan, bahkan, aku bisa melihat angin menggulung-gulung dedaunan saking sepinya.

Tidak ada aura kehidupan di sini.

"Perasaanku juga. Tidak ada prajurit kerajaan maupun anggota klan-ku, jelas membuktikan ada yang tidak beres," jawab Selena Kecil serius.

"Aku tidak merasakan aura kehidupan," --Kepala Apel menatap Selena Kecil--, "ini jebakan."

Tepat ketika Kepala Apel menyelesaikan kalimatnya, dari empat sudut berbeda muncul puluhan mahkluk kegelapan; mereka seperti asap hitam, memiliki kaki dan tangan namun tak memiliki wajah. Mahkluk itu mengepung dua bocah itu.

"Nite. Harusnya sudah kuduga. Mereka seperti bayangan klan Schwarz; aura kedatangannya tak bisa dirasakan. Ratu Kegelapan sendirilah yang menciptakan mereka dari kekuatan kegelapannya. Seseorang melepas mereka dari segel,"ucap Kepala Apel. Dua bocah itu berdiri saling memunggungi, kedua tangan mereka sudah diselimuti aura.

"Bagaimana cara mengalahkan mereka?"

Seringai muncul di bibir Kepala Apel. "Mereka mudah dibunuh, Pai." Lantas, dengan kecepatan luar biasa untuk anak seumuran mereka, keduanya memelesat dan menghabisi barisan pertama, kedua, ketiga dari makhluk tersebut. Saking cepatnya aku hanya bisa melihat kilatan cahaya.

Barisan keempat mahkluk itu mendesis marah sambil melangkah mundur. Sudut mataku menangkap gerakan cepat, makhluk kegelapan itu perlahan tumbang hingga menyisahkan abu hitam. Kemudian, Kepala Apel muncul dari ketiadaan. Senyumnya semringah sambil menghampiri Selena Kecil yang hanya lima langkah jauhnya.

Jantungku mencelus saat melihat tamu selanjutnya yang datang. Mereka wizard. Bila aku memperkirakan jumlahnya ... Mungkin puluhan. Tanda peringatan berbunyi di kepalaku. Ini bukan pertanda baik.

"Well, well ... Dua penyihir dari dua klan terkuat: Ludovick dan Maximilian. Tadi itu pertunjukkan yang luar biasa, anak-anak," ucap penyihir bermanik merah itu sambil bertepuk tangan. Ada bekas luka baru melintang di pipi kirinya. Menandakan ia sudah bertarung sebelum ini.

Senyum semringah Kepala Apel langsung menghilang, ia menyisir sekeliling. Posisi mereka lagi-lagi terkepung. Bila kedua bocah itu merasa takut, mereka tidak menunjukkannya.

"Pandai sekali kau menyembunyikan mata merahmu, Balin," ucap Kepala Apel sarkastik.

"Ohh ... Kau harus menyebut nama lengkapku sebagai tanda hormat," sahutnya, suaranya terkesan santai tapi berbahaya.

"Berapa lama kau menyimpan identitasmu dan seluruh klanmu sebagai penghianat?"ucap Selena Kecil dengan nada tajam.

Manik merahnya melirik Selena Kecil. "Kau selalu saja setajam itu, Putri Selena. Dan jawabannya ... Cukup lama. Kuakui, memancing kalian keluar bukanlah hal mudah. Kalian selalu dalam pengawasan ketat, tapi, sayangnya jiwa petualang kalian-lah yang mengantar kalian pada kematian." Seringai jahat tersungging di wajahnya.

"Kau penyihir pengecut ternyata, sangat memalukan. Memancing dua bocah polos keluar dari istana untuk bermain-main. Itu bukanlah cara terhormat para bangsawan penyihir," ucap Kepala Apel santai tapi penuh nada sarkastik.

Ljosalfar : The Light Elves Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang