Chapter 30

6.3K 459 48
                                    

Kilasan demi kilasan berputar dalam benakku bagaikan sebuah rekaman, seolah menarik dan membawaku kembali ke masa kecilku yang hilang. Tirai sutra berkibar di sekitarku tatkala sang angin meniupkannya sedangkan mataku tetap menatap lurus ke depan, memandang rumput hijau dengan rintikan dedaunan. Nyanyian bangsa Ljosalfar yang begitu merdu berpadu dengan deburan air terjun dan kicauan burung seakan menyertaiku memasuki dunia lampau.

Tiga bunga peony melayang di udara, bersinar bagaikan sebuah lentera. Aku menatapnya dengan takjub.

"Kau membuatnya bersinar. Bagaimana mungkin?"

"Sihir," jawab Seira singkat.

Mataku melebar sambil berkata, "wow..."

Dengan gerakan jemari Seira, ketiga bunga itu melayang mendekat ke arahku. "Ini cantik sekali..." Aku mengulurkan tanganku membiarkan salah satu bunga peony mendarat di tanganku. Cahaya merah mudanya memantul alami dari setiap kelopaknya. "Kau meminta bantuan Clara untuk membuat bunga ini bersinar, ya kan?" Aku meliriknya dengan tatapan curiga.

Seira menyunggingkan senyum misteriusnya. "Kau menyukainya?"

"Ini benar-benar buatanmu?"

Seira tertawa. "Kenapa kau begitu penasaran?"

"Karena aku ingin tahu."

"Itu rahasia." Seira kecil duduk di sebelahku sambil tersenyum lebar dan menatap langit penuh bintang.

"Ayolah...katakan padaku."

Hening sesaat.

"Yang di tanganmu memang buatan Clara tapi dua lainnya itu buatanku," jawabnya tanpa mengalihkan tatapan.

Aku menatap bunga peony yang berada di telapak tanganku dan dua peony yang melayang di udara bergantian. Sulit untuk membedakan mana buatan Clara dan Seira, ketiganya terlihat sama.

"Ini sama persis. Kau membuatnya dengan sempurna. Sihirmu berkembang pesat, Seira!"

"Mungkin secara sekilas bunga itu sangat mirip tapi ada satu perbedaan yang sangat besar, bunga buatanku akan kembali seperti semula di hari ketiga setelah kubuat," jelasnya santai.

"Tidak masalah. Aku menyukainya, sangat menyukainya. Kau selalu membuatkan hadiah terbaik untukku!" Senyum senang terlukis jelas di bibirku.

"Apapun yang berkaitan denganmu, aku selalu membuatnya dengan sepenuh hati," sahutnya. Mata hazelku bertemu dengan iris abu-abunya. "Karena kau adalah adikku yang paling berharga dan paling kusayangi." Ia tersenyum cantik dan  pancaran matanya begitu hangat.

Tanpa bisa ku tahan tetes demi tetes air mata jatuh membasahi pipiku.

"Pai, aku mendapatkannya!" Kepala apel berkata dengan suara pelan nyaris berbisik, wajahnya tampak begitu gembira.

Aku mengangkat wajahku dari buku yang sedang kubaca, menatapnya dengan heran. "Mendapatkan apa?"

"Ini..." Kepala apel meletakkan sebuah buku tebal bersampul kulit dengan lambang lingkaran yang terbuat dari tulisan kuno tepat di hadapanku. Aku membelalak terkejut sekaligus gembira. "Buku mantera para Sorcerer," ucapnya.

“Darimana kau mendapatkan buku ini?” tanyaku dengan kegembiraan yang tidak bisa kututupi.

“Perpustakaan.” Ia tersenyum lebar.

Aku menatap buku mantera itu dengan senyum tanpa henti, rasa penasaran mulai mengelitikku, mendorongku untuk membuka lembar demi lembar. Mempelajarinya serta merapalnya namun senyumku memudar saat sesuatu menerpaku. "Kau yakin kita bisa merapal mantera? Kita Wizard bukan Sorcerer." Aku menatapnya.

Ljosalfar : The Light Elves Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang