Chapter 34

2.8K 355 85
                                    

Aku ingat hari itu.

Terbangun dengan belaian hangat sang angin yang menerobos masuk melalui jendela. Mataku menangkap sosok kecil berambut panjang berwarna brunnate, berdiri di depan jendela menatap Green Forest di kejauhan.

Gadis itu sedikit menoleh saat aku mengubah posisi dari tidur menjadi duduk.

"Aku merasa ada sesuatu yang hilang," ucapnya, kembali menatap lurus Green Forest.

Keningku bertaut bingung. "Apa yang hilang?"

"Aku tidak tahu. Tapi aku merasa sesuatu yang hilang itu sangat berharga bagi kita. Kau tidak merasakannya?"

Aku diam sesaat, mencoba merasakan apa saja yang mungkin tidak kusadari, tapi aku tidak merasa apapun. "Tidak," jawabku. "Kurasa kau bermimpi, Seira. Tidak perlu  kaupikirkan. Itu hanya mimpi."

"Dan aku melihat mereka ... Ayah dan ibu, memang buram tapi aku tahu mereka tersenyum pada kita." Suaranya pelan dan terdengar sedih.

Ayah dan ibu kami sudah meninggal, saat itu Seira masih terlalu kecil untuk mengingat sosok mereka dan aku masih bayi.

"Kita merindukan sosok mereka," ucapku, berusaha menenangkannya tapi mungkin tidak berhasil.

Kakakku diam, mungkin dia sedang menyerap kata-kataku. Mungkin tadi dia terbangun dan belum benar-benar keluar dari dunia mimpi. Lalu, ia memutar tubuhnya menghadapku. Awalnya, kukira akan melihat jejak air mata dan ternyata aku salah. Ia tidak menangis. Dia terlihat baik-baik saja. Aku tahu Seira bukan tipe gadis yang gampang menangis, dia tidak cengeng bahkan ia terlalu kuat dan selalu melindungiku. Seira selalu ada untukku.

"Kau benar. Aku pasti bermimpi." Ia tersenyum.

"Kau pasti tidak hanya mimpi itu,"tebakku.

Senyumnya semakin merekah, ia kembali menatap Green Forest. "Dalam mimpiku ... Hutan-hutan terasa lebih hidup, terdengar lantunan musik dan kurasa ada nyanyian di sana. Dan kita tidak tinggal di desa Eregion tapi di suatu tempat asing."

"Pesta! Hewan-hewan hutan mengadakan pesta. Betapa menyenangkannya bila itu benar-benar terjadi."

Seira kembali menatap iris hazelku. "Mungkin kita bisa minta izin Clara untuk pergi ke Green Forest. Bermain-main sebentar dan mencari apel. Kudengar banyak pohon apel di sana."

"Dan kau bisa mencari buah berry," sahutku.

"Berry," ulangnya penuh semangat.

Dan hari itu merupakan awal dari segalanya. Awal kehidupanku sebagai manusia biasa tanpa sihir. Tanpa ingatanku tentang siapa diriku sebenarnya. Juga awal pertemuan kami dengan teman satu desa yang kemudian menjadi sahabat kami; Tom dan Jordan.

Kini, aku tahu apa yang dibicarakan Seira waktu itu bukanlah mimpi. Sesuatu yang hilang dan berharga untuk kami adalah memori. Koneksi kami pada masa lampau. Keluarga dan klan.

Satu hal yang kuketahui sekarang, ingatan Seira tidak terkubur dalam sepertiku.
Meskipun terasa bagai sebuah mimpi, jauh di dalam hatinya ia tahu ... Dahulu semua hutan di Midgard hidup, kaum dryad menari dan menyanyi.

"Kau diam sekali sejak keberangkatan kita." Suara itu menarikku kembali ke dunia nyata.

Angin dingin menampar wajahku, menerbangkan helai-helai rambutku yang tidak terkepang. Butiran-butiran sedingin es menyentuh ujung hidungku. Daratan berselimut warna putih berada jauh di bawah, dengan garis biru berkelok-kelok dari sungai-sungai yang membeku.

Mengedarkan pandangan kulihat prajurit Ljosalfar tersebar di sisi kanan, kiri, dan pastinya di belakangku.

"Apa yang kaupikirkan?"tanya Raizel. Kedua lengan kokohnya memegang tali kekang(yang lebih berfungsi sebagai pegangan dari pada untuk mengendalikan) di kedua sisiku.

Ljosalfar : The Light Elves Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang