CHAPTER 39 | LAST SCENE

13.2K 1.4K 301
                                    

"Terima kasih," sahut Hyewon setelah matanya menangkap pergerakan tangan Eunha yang meletakkan sebuah gelas berisi susu di atas nakas yang berada di sebelah tempat tidurnya. Mendapati sahutan terima kasih dari Hyewon, Eunha membalasnya dengan senyuman tipis, tidak sekilas namun bertahan lama. Dengan tangan kanan yang bergetar, yang ia sembunyikan dibalik punggungnya, birai Eunha pun meloloskan sebuah kalimat, "Hyewon, maafkan aku. Kau mau memaafkanku, kan?" Diluar dugaan, air mata sudah menggenang di pelupuk mata Eunha, jika tak bisa menahannya, mungkin sekarang ini ia sudah jatuh tersungkur seraya menangis di depan Hyewon.

"Minta maaf untuk apa?" Tanya Hyewon keheranan, namun ia tak dapat menangkap suatu kegelisahan yang diperlihatkan oleh Eunha. Suatu kewajaran jika dirinya merasa heran, pasalnya, Eunha sama sekali tidak pernah berbuat jahat padanya. Predikat 'wanita baik' masih tersemat baik di dalam diri Eunhaㅡ bagi Hyewon. Sejurus kemudian, Eunha menggelengkan kepalanya dan tersenyum kecil, "Kau boleh meminum susunya sekarang. Jika dingin, maka tidak akan enak untuk diminum lagi." Dan kini, yang Eunha dapati adalah sebuah anggukan kecil dari Hyewon. Ia melihat seluruh pergerakan yang wanita itu lakukan, mulai dari pengambilan gelas sampai dengan meminum setengah gelas susu yang ia buat. Lagi-lagi kuping Eunha terasa panas saat mendengar kata terima kasih yang lolos begitu saja dari birai penuh milik Hyewon. Tidak, bukan hanya telinganya yang terbakar, jantungnya pun terasa seperti berhenti berdetak saat Hyewon kembali menghabiskan susu tersebut.

"Kau punya harapan kecil, Hyewon-ah?" Eunha kembali bertanya dengan berhasil meminimalisir suaranya yang bergetar hebat. Hyewon tidak boleh tahu jika saat ini Eunha sedang gelisah dan ingin menangis, wanita yang baru saja menyunggingkan senyuman terbaiknya itu tidak boleh mengetahui apapun, atau dirinyaㅡEunhaㅡ akan dibenci. Sementara yang ditanya hanya diam sejenak, memikirkan jawaban yang tepat untuk ia lontarkan. Harapan? Akhir-akhir ini sebenarnya Hyewon tidak punya harapan besar atau kecil untuk dirinya sendiri. Namun, ada satu harapan yang membuatnya tersenyum lebar di hadapan Eunha. "Aku ingin anakku lahir dengan sehat dan bisa hidup bahagia di masa depan," tuturnya, membuat Eunha mengangguk dengan air mata yangㅡsedikit lagiㅡhampir saja terjatuh membanjiri kedua pipinya. Bagi Hyewon, mendoakan anaknya agar bisa hidup dengan baik di masa depan adalah sebuah harapan yang benar-benar ingin ia wujudkan. Hidupnya sudah sulit, tak dipenuhi dengan senyuman manis setiap harinya, dan hal itu memicu tekad Hyewon dalam memiliki harapan kecil itu. Anaknya tidak boleh mengalami rasa pahit nan menyakitkan yang dapat melukai hatinya, dia harus bahagia, apapun caranya.

Bahagia adalah sebuah harapan, menurut Hyewon. Dan sekarang, diusianya yang sekarang, serta kondisinya yang sebentar lagi akan menjadi seorang ibu, membuatnya tak berpikirㅡlagiㅡ bagaimana cara membahagiakan dirinyaㅡ seperti sebelumnya, dimana dirinya berusaha keras untuk meraih kebahagiaan. Mendapati jika delapan bulan lagi dirinya akan mendapatkan seorang teman, membuat rasa bahagia yang selama ini terpendam jauh di dasar hati mulai mencuat, sedikit demi sedikit. Dan jika teman itu sudah lahir kedunia, mungkin di masa yang akan datangㅡ walau ia tidak akan pernah bisa menemani anaknya karena kontrakㅡ ia akan bisa bahagia hanya dengan mendengar kabar tumbuh kembang sang anak. Teman yang sudah ia jaga selama sembilan bulan, kenyataannya, tak dapat ia sentuh lama. Bagaimanapun juga, teman itu akan menjadi milik Jungkook dan Eunha sepenuhnya.

"Aku akan menyuruh pelayan untuk mengambil kembali gelas kosong itu. Aku permisi, Hyewon-ah. Selamat malam, semoga mimpi indah," pamit Eunha, dan dengan cepat ia segera meninggalkan kamar Hyewon, berlari menuju rumah kaca miliknya yang berada di halaman belakangㅡ tak bisa balik ke kamar dengan kondisi yang seperti ini. Pintu ditutup dengan rapat setelah ia berhasil masuk ke dalam sana, dan perlahan punggungnya yang bersandar pada pintu pun merosot, air matanya juga ikut merembes keluar dengan hebat. Tangan kanannya terangkat, persis di depan wajahnya. Darah akibat pecahan beling yang menusuk tangannya belum juga berhenti keluar, dan yang dapat ia lakukan hanyalah menangis dan menangisㅡ ada rasa lega yang bercampur dengan ketakutan di dalam sana, hatinya.

FAIRYTALE: Last SceneWhere stories live. Discover now