CHAPTER 18 | LAST SCENE

12.3K 1.4K 104
                                    

Setelah mempresentasikan proyek terbarunya di depan seluruh rekan kerjanya secara singkat, padat, dan jelas, Jungkook pun segera kembali duduk di kursi khususnya. Kesepuluh jari tangannya ditekuk satu persatu, membuat bunyi yang tidak begitu nyaring namun sukses mengalihkan perhatian rekan kerja yang duduk di kanan dan kirinya. Berada di ruang rapat adalah sesuatu yang paling membosankan. Ia ingin pergi, namun dirinya tak bisa karena sejatinya Jungkook adalah seorang atasanㅡpemilik perusahaan, harus memberikan contoh yang baik untuk para karyawan.

Pandanganny terfokus pada slide presentasi. Dicermatinya setiap tulisan disana, telinganya juga bekerja dengan baikㅡmendengarkan setiap penjelasan rekan kerjanya yang cukup meyakinkan. Jika boleh jujur, Jungkook malas jika harus menghadiri rapat di malam hari, ditambah lagi perutnya belum terisi oleh sejumput nasi. Akan lebih baik jika ia menyuruh John ataupun Jimin untuk menggantikan posisinya. Tapi, mengingat ini adalah proyek yang sangat besar, serta rapat yang dihadiri oleh pimpinan perusahaan yang akan bekerja sama dengannya, Jungkook pun mau tidak mau harus menghadiri rapat ini. Ah, dia bukan pria malas yang selalu membebankan pekerjaan pada kaki tangannya, ia adalah salah satu bagian dari pria rajin di dunia. Jungkook hanya ingin memanfaatkan kata 'bos' dengan baik, hanya itu.

Di dalam hati, Jungkook menghitung mundur dengan netra yang sesekali melirik pada rolex nya. Tepat disaat jarum panjang sudah menyentuh angka enam, Jungkook segera bangkit dari kursinya, membuat seluruh perhatian tertuju padanyaㅡlagi. Tidak ada yang membuka suara saat Jungkook mulai berjalan meninggalkan ruang rapat. Para rekan kerja hanya mengangguk pasrah saat beberapa karyawan berbisik pelan jika Jungkook memang memiliki waktu khusus dalam menghadiri rapat. Itu peraturan yang Jungkook tetapkan baru-baru ini, karena ya... ia tidak bisa mengatasi rasa bosan jika berada terlalu lama di dalam ruang rapat yang dinginnya mengalahkan kutub utara. Akan sangat tidak profesional jika nantinya para rekan kerja menangkap basah jika kelopak matanya tengah tertutup dan alam mimpi datang membuai.

Lebih baik Jungkook menetapkan hal ini; dirinya akan keluar dari ruang rapat jika sudah tiga puluh menit. Karena itu, jika presentasi mereka ingin di tanggapi oleh Jungkook, maka mereka harus bisa menyampaikan poin penting di awal presentasi. Jika mereka gegabah, malah melantur dan boros perkenalan, siap-siap saja Jungkook akan angkat kaki dari ruang rapat tanpa mendengar poin penting dari presentasi tersebut. Dan akibatnya? Rencana kerjasama akan batal begitu sajaㅡtanpa toleransi.

Jungkook berjalan dengan tangan yang bergerak memijit tengkuknya. Rasa penat menyelimuti, dirinya sudah tidak tahan untuk segera menginjakkan kaki di kediamannya dan melihat istri tercintanya. Ah, pria itu sadar jika dirinya belum menghubungi Eunha sejak siang tadi, dan kemudian rasa bersalah datang bertamu. Eunha pasti menunggu kabar darinya, itu yang terbesit pada pikiran Jungkook. Sesaat, Jungkook menghentikan langkahnya karena atensinya menangkap sosok tak asing yang tengah berjalan kearah ruangannya. "Park Jimin? Bukannya dia bilang tidak akan balik lagi ke kantor?" Ia bertanya pada dirinya sendiri, menarik kesimpulan jika ada sesuatu yang tertinggal dan mengharuskan Jimin untuk kembali lagi ke gedung perusahaan.

"Dia pasti meninggalkan sesuatu di ruanganku. Dasar ceroboh," lanjutnya, bersama dengan tungkainya yang kembali ikut melangkah. Jungkook dapat melihat semuanya, mulai dari Jimin yang masuk ke dalam ruang kerjanya, sampai dengan pintu coklat tua tersebut tertutup rapat kembali. Melihat Jimin, Jungkook jadi berniat untuk mengajak temannya itu makan malam bersama. Namun, saat pintu ruangannya terbuka, kalimat ajakan makan malam tersebut refleks tergantikan. "Apa yang kalian berdua lakukan?" Kalimat itu langsung keluar dari belah bibirnya, sirat terkejut cukup tergambar jelas. Di depannya, dua orang berlawanan jenis ini tengah duduk berpangkuan dengan permukaan bibir yang saling menempel. Tengkuknya yang penat menjadi semakin penat, rasa lapar tiba-tiba saja tergantikan dengan sendawa kekenyangan virtual.

FAIRYTALE: Last SceneOnde histórias criam vida. Descubra agora