CHAPTER 2 | LAST SCENE

17.7K 1.7K 65
                                    

CHAPTER 2 | LAST SCENE




"Jeon Jungkook, dengarkan aku dulu," titah Eunha, tangan kecilnya hendak menggapai lengan Jungkook. Dan disaat ia sudah berhasil meraihnya, Jungkook malah menepis tangannya, membuat genggaman 'tidak kuatnya' terlepas dalam hitungan detik.

"Jeon Jungkook! Aku ingin bicara dan dengarkan aku! Jangan kira kalau kau mengabaikanku maka keputusan yang kuambil di rumah orangtua mu berubah!" Pekik Eunha, langkahnya terhenti dan kemudian disusul dengan langkah Jungkook yang juga ikut berhenti. Dapat Eunha tangkap jika kedua tangan Jungkook membentuk sebuah kepalan kuat yang menandakan jika suaminya benar-benar marah.

Tak berapa lama, tubuh Jungkook berbalik. Ditatapnya Eunha dengan tajam dengan binar mata yang mengisyaratkan sebuah kekecewaan. "Atas dasar apa kau menyetujui perkataan orangtuaku? Eunha, mengatakan itu adalah hal mudah, sangat mudah. Tapi melakukannya? Kau kira melakukan itu semudah mulutmu berkata? Tidakkah kau berpikir apa yang akan terjadi di masa depan nanti?" Marah Jungkook, nada bicaranya meninggi, sungguh menjelaskan bahwa dirinya tengah berang saat ini. Jungkook yang biasanya selalu berbicara dengan penuh lemah lembut terhadap Eunha, kini, tepatnya beberapa detik lalu, ia berbicara dengan nada yang ditinggikan. Membuat segaris luka di hati Eunha karena mendengar bentakan Jungkook.

Eunha mudah sekali menangis, karena memang dasarnya ia dilahirkan sebagai gadis lemah yang cengeng. Tapi untuk sekarang, ia harus menahan air matanya agar tetap berada di pelupuk mata. Tidak, tidak. Liquid itu tidak boleh terjun bebas sekarang, karena saat ini ia tengah berhadapan dengan suaminya, Jeon Jungkook. Suasana juga sedang tidak kondusif jika ingin menangis. Yang harus Eunha pikirkan sekarang adalah 'masalah ini'. Masalah yang jika disinggung akan membuat seorang Jeon Jungkook naik pitamㅡAnak.

"Jung, kumohon jangan bicarakan ini dengan emosi, bisa kan? Kita bisa membicarakannya dengan baik-baik, mendiskusikannya bersama sampai akhirnya bertemu dengan titik ujung yang tepatㅡ"

"Tidak bisa!" Potong Jungkook dengan tangan yang kemudian mengusap wajahnya kasar. Harus berapa kali ia bilang pada Eunha jika ia tak menyukai rencana orangtuanya? Mereka sudah berdebat selama di dalam mobil tadi, dan sekarang Jungkook terlalu malas untuk memulai perdebatan kembali. "Terserah kau mau mengatakan apapun, aku tidak peduli," lanjutnya dengan tubuh yang mulai membalik.

Tidak lama sesaat setelah Jungkook melangkahkan tungkainya, Eunha kembali berucap dengan nada yang tak kalah dari seruan Jungkook beberapa menit lalu. "Jeon Jungkook! Aku mandul! Aku tak bisa memberimu seorang anak! Sedangkan kau tak bisa menolak fakta bahwa kau juga butuh penerus! Kau bilang di tahun pertama kita menikah dulu, bahwa kau sangat tidak sabar ingin melihat rumah besar ini dikelilingi oleh anak-anak kecil yang lucu. Tapi apa yang kau dapat, Jung? Kosong! Hanya kekosongan!" Tidak tahan, Eunha menangis. Bunyi lutut yang membentur lantai membuat tubuh Jungkook kembali berbalik. Tak sanggup melihat istrinya menangis, Jungkook pun segera menghampiri Eunha, berjongkok dan kemudian mendekapnya dengan penuh kasih.

Tak disangka, seorang pria tangguh seperti Jeon Jungkook juga bisa menangis. "Eunha, tidak apa jika Tuhan tidak bisa memberi kita buah hati. Asalkan aku bersamamu, semuanya akan baik-baik saja," ungkap Jungkook, berusaha mati-matian untuk menahan tangisnya.

Kepala Eunha menggeleng pelan, dihapusnya air mata yang sudah membanjiri pipinya dengan punggung tangan. "Tidak Jung, jangan menipuku. Kau sama sekali tidak baik-baik saja," balas Eunha dengan jemari yang sudah menari di pipi Jungkook guna menghapus air mata suaminya yang mengalir sia-sia karena meratapi nasib.

"Eunha-ya..."

"Jung, menikahlah lagi. Demiku, demimu, dan demi nama besar keluarga Jeon," pinta Eunha, sengaja memotong sahutan Jungkook beberapa detik lalu.

"Sekali lagi aku tanya padamu, Eunha, agar kelak di masa depan penyesalan tidak akan terjadi. Eunha, kau yakin dengan semua ini? Mau menanggung semua resikonya tanpa menyalahkan siapapun? Mau menanggung segala rasa sakit hati saat aku bersetubuh dengan wanita lain hanya demi menghasilkan seorang anak?" Tanya Jungkook, menatap obsidian cantik istrinya lekat-lekat.

Agak menyakitkan namun harus segera dituntaskan, Eunha menganggukkan kepalanya mantap. Di dalam hati ia berjanji akan menerima semuanya dengan lapang dada.




ㅡCHAPTER 2ㅡ





"Kenapa kau malah mencari wanita di klub malam, Jeon? Di luar sana, masih banyak wanita cantik dengan latar belakang yang baik. Bahkan aku sudah pernah menyodorkanmu sepuluh foto wanita kenalanku," Jimin berceletuk layaknya burung beo, tak menerima jika Jungkook mencari wanita di sebuah klub malam. Jimin, tidak, terkhususnya semua orang, memiliki sebuah stereotype tersendiri pada seorang wanita yang tiap harinya selalu keluar masuk dari dalam klub malamㅡsekalipun mereka tak melakukan apapun.

"Berhentilah memanggilku dengan sebutan marga. Kau kira marga Jeon hanya punyaku?" Sungut Jungkook tak terima. Kaki tangannya iniㅡPark Jiminㅡselalu memanggil dirinya dengan sebutan marga keluarga dan Jungkook agak tidak menyukainya.

"Lagipula marga Jeon hanya dipakai oleh orang-orang yang terlahir dengan garis darah biru sepertimu. Margamu tak bisa disandingkan dengan margaku yang pasaran dan bisa ditemukan dimanapun," balasnya seraya terus mengikuti Jungkook. Hubungan Jungkook dan Jimin bukan hanya sekedar atasan dan bawahan, melainkan sudah seperti saudara beda orangtua. Awalnya mereka bertemu saat duduk di bangku kuliah, menjadi dekat hanya karena memiliki hobi yang sama, sampai akhirnya Jimin dipercaya menjadi kaki tangan Jungkook.

Jimin juga cukup berguna bagi orang sibuk sekelas Jeon ini. Dikala Jungkook tengah malas mengikuti rapat, Jimin selalu ada untuk menggantikan posisinya. Katakan saja jika Jimin adalah bayangannya Jeon Jungkook.

"Hei, kau belum menjawabku untuk pertanyaan yang pertama!" Sergah Jimin seketika sadar Jungkook belum mengeluarkan sepatah katapun. Atasannya ini adalah orang baik-baik, jarang, malah dikatakan hampir tak pernah pergi ke klub-klub malam. Terlalu workaholic sampai lupa waktu, dan hanya Eunha yang mampu mematahkan pujaan Jungkook terhadap dunia kerjanya. Wajar jika Jimin terkejut dan bertanya kenapa Jungkook mau mencari wanita dengan latar belakang tidak jelasㅡyang tentunya hanya ada di setiap klub malam.

"Asal kau tahu, Jim, yang aku dan Eunha inginkan hanya seorang anak. Lagipula ini hanya semacam pernikahan kontrak. Setelah ia melahirkan anakku, maka hubungan kami selesai. Jadi, aku tidak tega untuk mengontrak wanita baik-baik di luar sana," balas Jungkook, menatap Jimin sesaat lalu segera melanjutkan langkahnya.

"Tapi Jungㅡ" Jimin menghentikan langkahnya saat sadar jika sekarang Jungkook tengah berhenti di depannya. Hampir saja ia memukul Jungkook jika saja pendengarannya tidak menangkap suara berisik dari depan sana, bertepatan di sebuah meja bar.

"Lihat wajahnya! Dia cantik! Bayar aku berapapun, maka wanita jalang ini akan jadi milikmu," ucap si pria brewokan tersebut sembari menarik lengan seorang wanita agar wajah cantiknya dapat terlihat jelas.

"Kim Taehyung, kumohon jangan jual aku," ringisnya dengan suara yang sangat kecil. Namun, yang Taehyung lakukan hanyalah tersenyum kecil.



CHAPTER 2 | LAST SCENE

FAIRYTALE: Last SceneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang