DCKD 44

7K 383 45
                                    

Sungguh wanita mampu menyembunyikan cintanya tapi tidak dengan rasa cemburunya.
(Ali bin Abi Thalib)

_____
Selamat membaca ☺
_____

"Biar saya yang terus menampung air mata kamu. Seisi alam semesta nggak boleh ikut sedih hanya karena bidadari mereka terluka."

Fifah terkesiap. Ia lekas menoleh ke sisinya dimana sudah ada Irfan yang berwajah lelah. Lalu Fifah menunduk, ada sebuah telapak tangan yang sudah becek oleh sedikit air.

Kak Ir-fan ... menampung air mataku?

Fifah terharu. Bola matanya kembali dipenuhi gelombang kristal yang siap diluncurkan. Namun begitu menatap dua bola itu, seketika kelebatan Salsa melintas. Ia teringat si pemilik kuku bercat biru muda yang dengan manja bergelayut pada suaminya. Membuat dadanya semakin perih, Fifah pun membuang pandangannya ke langit nan kelam. Sekelam kisahnya barusan.

"Maaf," satu kata bernada penyesalan yang membuat hati Fifah semakin teriris. Bukannya lupa, kata itu justru semakin membuatnya mengingat kejadian itu.

Fifah tergugu. Tertunduk, pertahanannya runtuh. Irfan menjatuhkan tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. Merasakan tiap getaran emosi berikut luka yang kini tengah menjadi lukanya.

"Kita satu tubuh. Kamu terluka, saya merasakan sakit. Kamu bahagia, saya turut merasakan senang," ucap Irfan.

Fifah meronta minta dilepaskan seolah ucapan yang didengarnya adalah sebuah kebohongan. Namun sekuat tenaga tidak Irfan lepaskan. Justru ia semakin mengeratkan dekapannya, sebagai bentuk takut kehilangan.

"Jangan peluk aku, Kak! Lepas!" Fifah memukul tangan kekar itu. Ia benar-benar tergugu, air matanya tak bisa berhenti. Hatinya sangat perih.

"Saya minta maaf, Fifah. Saya minta maaf ... Saya benar-benar menyesal ..." kali ini suaranya terdengar parau.

Dari matanya yang sembab, Fifah menoleh ke sisi Irfan. "Apa aku harus percaya Kak Irfan nggak akan mengulanginya lagi?"

Irfan tidak langsung menjawab. Sejenak ia biarkan hembusan angin menerpa, menenangkan jiwanya yang gelisah. Tentu dari jawaban yang cukup memulur waktu itu membuat Fifah semakin gamang. Apa Kak Irfannya tengah mempermainkan sebuah pernikahan?

"Tentu, Fifah!" jawabnya kemudian.

"Kalo aku nggak bisa percaya gimana?" tanya Fifah.

Irfan tertunduk, tak lama kemudian dahinya menempel di kepala Fifah. Suaranya kedengaran parau dan Fifah rasakan sesuatu yang hangat tengah membasahi kepalanya.

"Kamu nggak yakin Allah takdirkan saya hanya untuk menemani kamu? Kamu nggak yakin jika melalui saya Allah turunkan ujian lalu melalui saya juga Allah berikan obatnya? Sungguh Fifah, saya hanya mencintai kamu."

Fifah diam. Baru pertama kalinya ia merasa dipermainkan oleh seorang lelaki yang memang suaminya sendiri. Sekuat apapun ia mencoba tegar. Namun, pertahananya runtuh begitu pintu kamarnya diketuk.

Daun pintu perlahan menganga, munculah seorang perempuan berambut bergelombang dari sana.

Fifah kembali meneteskan air mata tanpa sepengetahuan Irfan. Cepat-cepat ia menghapusnya, kemudian menyusul Irfan yang sudah berada di ambang pintu. Toh bagaimanapun juga Salsa adalah tamu yang patut disambut dengan baik. Jadi sesakit apapun dada Fifah, ia berusaha tidak egois dengan cara mementingkan dirinya sendiri dan mengabaikan perasaan orang lain.

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuWhere stories live. Discover now