DCKD 03

10.6K 531 11
                                    

Pak kyai menatap dua remaja tersebut secara bergantian.
Di sisi kiri Pak kyai, Irfan masih tertunduk dengan perasaan bersalah karena kulitnya telah bersentuhan dengan Fifah yang jelas-jelas bukan mahramnya.
Sementara di sisi kanan Pak kyai, Fifah merasa sangat malu karena namanya tercoreng sebagai seorang penyusup di pesantren. Ya, desas-desus yang ia dengar saat dirinya digiring ke ndalem Pak kyai beberapa santri menduga ia adalah penyusup.

"Apa yang membuatmu datang kemari wahai ukhty?" tanya Pak kyai.

Jantung Fifah berdebar hebat. Selain malu, apalagi yang ia rasakan? Tentu perasaan takut. Apa yang harus dia jawab? Mau bilang sengaja lewat pesantren supaya bisa lihat yang ganteng-ganteng? Aah, itu kan alasannya Viska!
Batin Fifah mulai mengutuk dua bocah kecil yang ia buntuti ketika hendak ke madrasah.

"Coba aja tadi aku nggak ngikutin Viska sama Fida, mana mungkin aku bisa duduk di sini? Bersama manusia menjengkelkan ini lagi!" Dua bola mata Fifah mencuri pandang ke arah Irfan sebelum pada akhirnya ia kembali tertunduk. "Ya kali dalam keadaan terhormat. Lah ini, udah kayak buronan." Demikian hati Fifah ngedumel.

Pak kiyai menangkap gurat kekesalan pada wajah Fifah. Beliau menghela napas. Lalu sedikit mengulas senyum dan menoleh ke sisi kirinya, di mana Irfan berada.

"Kenapa ini bisa terjadi toh le?" tanya Pak kyai. Nadanya merdu dan halus terdengar dengan pembawaan yang tenang.

Irfan semakin tertunduk dan sama sekali tidak berani mengangkat kepalanya untuk menatap Pak kiyai.

"S-saya tidak sengaja Romo ...." Tenggorokan Irfan tercekat sehingga ia tidak mampu melanjutkan kalimatnya.

Pak kyai menghela napas. "Mengingat pergaulan anak muda zaman sekarang ... ternyata sekalipun di dalam pesantren hal itu tidaklah menjamin keamanan. Anak manusia, jika sudah saling cinta, laut dan gunung pun diterjang," gumam Pak kyai.

Fifah mengkerutkan keningnya. Ia benar-benar tidak mengerti apa makna ucapan tersebut.
Apakah bahasa yang Pak kyai gunakan dalam mengajar santri-santrinya selalu menggunakan makna kiasan seperti yang baru saja ia dengar?

"T-tapi Romo ...." Irfan hendak menjelaskan sesuatu. Namun perkataannya terpotong.

"Romo paham, Le. Lusa kita datangi kediaman wanita ini untuk mengkhitbahnya."

"Apa?!" Suara Fifah memecah keheningan ruangan. Matanya mendelik dan tubuhnya menjadi tegak meski masih dalam posisinya. Irfan sama halnya terkejut. Beberapa santri yang ternyata masih menunggu Irfan dari luar ruangan melongokkan kepalanya ke kaca jendela.

Pak kyai yang melihat hal itu memberi lambaian tangan pada mereka yang berarti pergi dari sana.

"Romo rasa lebih cepat lebih baik, Le."

"Pak kyai, saya masih belia, saya masih ...."

"Tenanglah ukhty ...."

"Tenang? Ini bukan sesuatu yang mudah dibilang tenang! Saya resah Pak kyai, saya gelisah! Saya takut!" Fifah menyerukan isi hatinya dengan lantang.

Irfan mendelik kepada Fifah seraya memberi isyarat untuk mengecilkan suara dan menjaga ucapannya. Namun Fifah tetaplah Fifah. Emosinya tidak terkontrol hingga suaranya serak karena mencak-mencak. Toh, Pak kyai tetap tenang.

Irfan lemas bercampur bingung. Seketika satu persatu wajah keluarganya membayangi pikirannya.
Bagaimana ia berbicara mengenai hal ini pada Ibunya yang jauh di sana? Bagaimana jika Ibu tahu dirinya akan mengkhitbah seorang gadis? Ia belum bisa membalas jasa pada wanita yang telah melahirkannya, kok sudah mau mengkhitbah anak orang? Terlebih saat mengingat dirinya belum berpenghasilan.

Tak tahan dan guna mencegah keterkejutan pada keluarga di rumah, keesokan harinya Irfan pun pergi ke ndalem Pak kyai untuk izin meminjam telepon, mengabari keluarganya. Beruntung, orang rumah yang mengangkat teleponnya adalah Ibu. Jadilah Irfan mampu dengan hati-hati menjelaskannya.

"Alhamdulillah ... Harusnya kamu bersyukur, Nang! Pak Yai menjodohkan kamu dengan wanita pilihannya. Ibu yakin calon istrimu adalah orang baik-baik." Nada wanita di sebrang telepon terdengar lega begitu mendengar kabar dari putranya.

Irfan menghela napas. Sedikit tidak terima dengan gelar baik-baik yang Ibunya berikan pada gadis yang akan dikhitbahnya. Entah siapa namanya, Irfan tidak tahu.
Irfan kembali diingatkan dengan nada suara Fifah yang serba mencak-mencak. Dari sanapun sudah jelas, emosi gadis itu masih belum stabil, dan ... aah abaikan. Justru yang membuat Irfan khawatir adalah bagaimana dengan Ayahnya?

Sayup-sayup dari sebrang telepon Irfan mendengar Ibunya berbicara, "Yah, putra kita akan mengkhitbah seorang gadis pilihan Pak Yai."

Dari nada bicara Ibunya, Irfan mengira wanita itu sedang tersenyum. Namun tak disangka-sangka, respon yang Ayah berikan membuatnya kian lemas dan kalut.

"Khitbah? Bisa apa anak itu?! Kerja saja belum becus, mau mengkhitbah anak orang! Bilangin sama dia bu! Suruh pulang! Ayah sudah sepakat menjodohkannya dengan Salsa!"

Beberapa detik lamanya telepon sunyi. Lalu kembali terdengar. "Halo, Nang?"

Suara ibu di sebrang telepon membuyarkan lamunan Irfan. "Jangan terlalu dipikirkan, Allah pasti memberikan yang terbaik untuk hambaNya. Banyak-banyak berdoa mohon ampunan. Semoga segalanya dilancarkan hingga nanti tiba saatnya akad."

Jujur Irfan agak berat. Di sisi berat karena Ayahnya yang tidak setuju juga dengan gadis yang akan dinikahinya.

"Aamiin ... Terima kasih doanya bu."

"Ibu merestui kalian. Meski ibu belum pernah bertemu calon menantu Ibu, Ibu yakin pilihan Pak Yai sudah mewakili pilihan Allah. Insyaa Allah itu yang terbaik."

Irfan diam. Menunggu ibunya melanjutkan kata-kata.

"Baik-baik di sana ya. Jaga kesehatan, jangan suka paksakan dirimu tidur di kamar kalau genteng kamarmu bocor. Jangan lupa juga, makannya yang teratur."

Irfan tersenyum. "Siap, Bu! Ibu juga jaga diri ibu baik-baik ya ... jangan lupa makan. Oh iya Bu, tolong sampaikan salam dan permintaan maaf Irfan untuk ayah."

"Iya, nanti ibu sampaikan."

"Sudah dulu ya bu, Wassalamu'alaikum ...."

Setelah mendapat balasan salam dari Ibu, Irfan kembali meletakkan gagang telepon itu pada tempatnya.

***

23 Desember 2018

Thanks for reading.
💜

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa kritik dan saran yaa.

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuWhere stories live. Discover now