DCKD 43

7K 360 84
                                    

Allah selalu ada. Di sini dan di manapun.

(Fifah Zahrotun Munawaro)

_____
Selamat membaca ☺
_____

Memang tidak mudah memaksa keberanian pada diri orang yang phobia akan suatu hal. Butuh kesabaran khusus untuk meyakinkan bahwa segalanya akan baik-baik saja sebab tidak akan terjadi apa-apa.

Meski belum sepenuhnya berani, Irfan tetap setia menggandeng tangan istrinya, menapaki pasir yang semakin basah semakin mendekati bibir pantai. Tangan kanan Irfan memegang sepasang sneakers putih. Ombak dengan ramah menyambut kedatangan mereka, hawa dingin menyelimuti kaki-kaki yang tersiram air laut. Ia rasakan genggaman Fifah mengerat.

"Masih pusing?" ini pertanyaan ketiga yang Irfan lontarkan sejak mereka semakin mendekati pantai.

Fifah hanya diam. Sesekali ia perhatikan ombak menyapu kakinya, seolah memang dengan cara seperti itulah ia berkenalan. Irfan melepas genggamannya, membiarkan Fifah melatih keberanian berdiri di kala ombak kecil menyapu kaki.

"Dingin, Kak!" seru Fifah.

"Seger, kan?" Irfan menatapnya dengan senyuman.

Ya, suatu hal jangan ditanya. Dalam dada Irfan memang telah tumbuh cinta yang sebenarnya tidak perlu waktu lama seperti prediksi Zihro. Sebab dari rasa tanggung jawab itulah semuanya bermula. Termasuk perasaan cinta yang begitu mudahnya menyelinap di dalam dada. Masyaa Allah ... Maha Besar Kuasa Allah.

Fifah menoleh ke belakang. Di antara ramainya orang-orang, ia menangkap satu gubuk menjual minuman. Kebetulan Fifah masih merasakan pusing. Jadi ia pamit untuk ke sana, membeli minuman. Ia menolak ketika Irfan berniat menemani. Maka dari itu, Irfan hanya mengawasi punggung istrinya yang semakin menjauh hingga sampai di gubuk.

Dari kejauhan tampak Fifah memesan sesuatu. Sambil menunggu pesanan, ia melemparkan senyuman ke sosok lelaki berbaju putih yang melambaikan tangan kepadanya. Ya, dia suaminya. Sesekali Fifah tertawa melihat tingkah Irfan.

Namun seketika itu bayangan perempuan di lorong hotel kembali muncul. Membuat pilu di dada Fifah kembali bertalu, ia pun mengalihkan pandangannya dari Irfan, melihat si penjual minuman yang dengan lihai meracik pesanan para pembeli.

"Es kelapa muda cocopandannya satu ya, Bli!" pesan seorang laki-laki yang baru datang.

Hanya seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap yang tidak ia ketahui namanya. Laki-laki itu tersenyum padanya. Cepat-cepat Fifah mengalihkan pandangan, kembali menyaksikan penjual yang tengah meracik.

"Kita pernah bertemu," entah ditujukan kepada siapa kalimat yang dilontarkan laki-laki itu, Fifah mendengarnya.

"H-hai ..." sapa Rama, canggung. Ia sedikit membungkuk agar gadis yang diajak bicaranya tau bahwa ialah yang memanggilnya.

Fifah mengangguk sopan, mengukir sedikit senyuman. Hatinya sedang tidak bersahabat. Ia tidak ingin diganggu untuk sementara waktu.

"Kita ... tetanggaan di hotel," kata laki-laki itu. "Kemarin ketika aku membuka pintu kamar, aku melihatmu. Namun hanya sebentar setelah itu kamu bergegas masuk kamar."

Fifah mulai tertarik dengan kalimat yang ia dengar. Laki-laki ini melihatnya di depan pintu? Kok dia tidak tahu?

"A-aku Rama. Kau ingat?" hampir saja ia mengulurkan tangannya kalau Fifah tidak segera menangkupkan tangan.

"Oh Hahaha. Sekarang ... kamu beda ya." Rama menggaruk tengkuknya dan percakapan yang baru saja Fifah dengar sama sekali tidak ia mengerti.

Dua buah gelas plastik jumbo lengkap dengan tutup dan sedotannya ditempatkan dalam satu wadah plastik yang sama. Fifah langsung membayarnya, kemudian ia pergi.

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang