DCKD 18

6.4K 291 2
                                    

"Ehm!" Zihro berdehem, membuat Irfan menolehkan pandang padanya.

"Eh kamu, Ro? Udah dari tadi?" Ternyata sejak tadi Irfan baru menyadari keberadaan Zihro.

"Hmm belum lama, sih," jawab Zihro. Ia berikan tatapan curiga pada sebuah amplop biru yang tergeletak di depan kaki Irfan yang bersilang namun tertutup sarung.

"Yang mau ngungkapin perasaan, lewat surat, nih?" celetuk Zihro tak luput dari deretan gigi putihnya. Benar-benar sempurna, tak ada gurat kesedihan yang ditampakan melalui wajah seorang Zihro.

Sedangkan Irfan terperangah, lalu ia terkekeh seraya memegang amplop biru tersebut. Tentu ia segera paham kepada siapa maksud perasaan yang Zihro ucapkan barusan. "Belum halal masak mau ngungkapin perasaan? Aku nda mau berdosa gara-gara ini, Ro."

Zihro diam.
Dari keantusiasan Irfan yang Zihro perhatikan sejak tadi, tampaknya tidak ada tanda-tanda mereka akan membatalkan khitbahnya menuju jenjang pernikahan.

Entah harus dengan cara apa Zihro melupakan Fifah. Pergi ke pulau sebrang atau tetap di pondok pesantren, yang jelas rasanya eman-eman mau meninggalkan pesantren. Bagaimana tidak eman-eman? Pak kyainya saja begitu baik. Tidak memungut biaya pada santri-santrinya yang mondok pula. Apalagi keakraban yang terjalin satu sama lain dan ... grup hadrohnya! Bersama Irfan dan teman-teman yang lain, mereka sudah merambah berbagai acara dari panggung ke panggung bahkan hingga ke kota.

"Oh iya Fan! Baru ingat aku! Minggu besok kita diundang buat ngisi shalawatan di gedung Universitas Jendral Soedirman!"

"Minggu?" Dua bola mata Irfan merambah langit-langit kamar sementara dua alisnya saling bertautan. "Ini hari apa?"

"Jum'at."

Tatapan Irfan kembali mengudara seraya berkata, "Jum'at, besok sabtu, besoknya lagi?"

"Minggu." Jawab Zihro.

Irfan menepuk dahinya. "Ya Allah ... Kenapa baru bilang sekarang? Kamu tau sendiri toh? Aku harus latihan dulu!"

"Biasa aja Fan. Toh kita sudah biasa manggung sana-sini. Nda perlu latihan juga udah bagus!"

"Astaghfirullahal'adziim Zihro ... kok kamu jadi menyepelekan begini, toh? Biarpun kita sering tampil di mana-mana, tapi acara kali ini nda latihan, kan belum tentu acaranya mau lancar atau nda-nya yang penting kita sudah berusaha!"

"Kamu ini loh! Kenapa jadi ngelantur gitu si?! Ingat ya, Ro! Doa dan usaha berpengaruh pada hasil!" kata Irfan lagi.

Zihro menundukan kepalanya seraya membatin, "Iya yah ... kenapa aku jadi menyepelekan begini? Setidaknya tadi aku ngajak latihan. Bukannya malah ...."

"Farhan, Raihan, Aji, Wahyu, sama yang lainnya udah dikasih tau?" tanya Irfan. Zihro menggeleng kemudian dibalas helaan napas oleh Irfan.

"Ya sudah! Aku mau ngasih tau yang lain dulu. Habis itu kita kumpul di masjid untuk latihan!" Irfan pun mengantongi amplopnya kemudian ia beranjak dari duduknya, meninggalkan Zihro yang terpekur seorang diri karena merasa bersalah dengan jalan pikirannya.

***

Dedaunan pohon di kanan kiri jalanan menanjak seolah mengantarkan setiap orang yang lewat untuk datang ke sebuah rumah sederhana tak bertetangga. Sepi dan senyap bak tak ada kehidupan.

Selepas kepergian seorang santri yang mengantarkan amplop biru pada siang hari itu, Rio kembali duduk di samping Rina. Ya, hari ini Rina berkunjung ke rumahnya sebab Rio sedang libur kerja.

"Surat dari siapa, sih?" tanya Rina begitu Rio sudah duduk di sampingnya, tapi malah sibuk membolak-balikan amplop itu.

Sejak Fifah dikhitbah oleh santri pesantren itu, Rio harus menerima beberapa titipan yang kala memegangnya ia kan gemetar. Seperti amplop biru yang kini ada di genggamannya. Itu artinya ... Siap tidak siap sebentar lagi ia akan melepas sepupu kecilnya. Mereka tidak dapat bersua sebebas dulu. Mereka tak dapat bercanda se-asik dulu. Dan mereka akan menjadi dua anak manusia yang canggung kala bertemu.
Tidak! Rio tidak bisa bayangkan semuanya kan terjadi. Seketika itu juga, pikiran Rio untuk menikah lebih dulu dari Fifah melintas.

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuWhere stories live. Discover now