DCKD 30

6.4K 314 8
                                    

Di sebuah rumah sederhana, ruang depan, dua anak SMP tengah berkutat dengan beberapa buah dan sebagian alat dapur. Satu, dua, tiga buah pare mulai teriris. Keduanya melakukan itu saling bergantian. Ya, kalau tidak akan mendekati praktik memasak yang entah masuk ke dalam mata pelajaran apa itu, tentu mereka tidak akan melakukan hal ini. Dari kebersihan memasak, cita rasa yang dihasilkan, hingga proses plating katanya masuk poin penilaian.

Dua anak itu menghentikan aktivitasnya ketika sebuah mobil silver berhenti di sisi jalan. Tentu mereka langsung tau ke mana tujuan si pengemudi jika parkir mobilnya saja di sana. Karena rumah Fida tidak bertetangga, maka langsung bisa ditebak setiap orang yang memarkirkan kendaraannya di tempat itu pasti akan menuju ke rumahnya. Tampak Dua orang wanita berhijab berjalan mendekati rumahya dan diikuti seorang laki-laki berpakaian hitam berjalan di belakangnya.

"Eh siapa tuh?" tanya Viska ketika ia melihat orang-orang tersebut berjalan ke arah rumah Fida.

Fida terbelalak. "Hah? Ada tamu. Duh! Gimana ini ...."

"Kita beresin aja, Fid," timpal Viska.

"Trus nanti tamunya gimana, dong?"

Viska menepuk jidat seraya mengaduh. Dua sahabat itu saling pandang, dada mereka sudah berdebar tidak karuan. Apa mau dikata, mereka adalah anak kecil jadi tidak biasa menerima tamu selain anak-anak seusianya. Begitu melihat orang dewasa tamunya, seketika itu juga parno dan gugup menguasai pribadi mereka.

Viska menjentikkan jari yang disambut sentakan terkejut oleh Fida. "Mbak Fifah! Panggil mbak kamu, Fid!"

"Naaah! Betul, betul!"

Mereka langsung membereskan semua alat-alat dan buah pare yang berserakan di ruang depan untuk diimigrasikan ke dapur. Seketika itu Viska melanjutkan pekerjaannya memotong buah pare, sementara Fida menggedor pintu kamar Fifah. Tidak peduli mau dimarahin atau apa, intinya sekarang adalah Fida harus berusaha keras membuat Fifah melongokkan kepalanya ke pintu kamar sambil diiringi doa.

"Bismillah ... Bismillah ... Mudah-mudahan Mbak Fifah nggak ngebo, Ya Allah."

Tok tok tok!

"Mbak ... Ada tamu,"

Hening. Tak ada suara yang terdengar selain suara pisau yang beradu dengan talenan di dapur.

"Mbak? Keluar dong mbak. Ada tamu." Fida kembali mencoba. Namun, pintu kamar di hadapannya ini belum juga memperlihatkan tanda-tanda akan dibuka.

Semakin dekatnya langkah orang-orang itu menuju rumah, Fida semakin khawatir. Ia resah dan gelisa sebab Fifah tak kunjung keluar kamar juga.

Dok dok dok!

Bukan dikata ketukan pintu lagi namanya, kini Fida menggedor lebih keras pintu kamar itu. Ia yakin cara ini sembilan puluh persen berhasil. Dan ... tuh kan! Benar perkiraan Fida! Belum sampai teriak-teriak saja Fifah sudah melotot dibuatnya.

"A-ada tamu. Hehehe." Dengan lima puluh persen rasa takut, Fida memamerkan deretan gigi putihnya.

"Tamunya siapa?!"

Fida bergidik dibuatnya. Ia menelan ludah seraya membatin, "Galak bener Mbakku ini."

Brak! Cklek!

Fifah menutup pintu kamar, dikuncinya. Fida yang masih berdiri di sana menghela napas lemas.

Tok tok tok!

"Mbak ... itu tamunya orang gede, Mbak. Jadi aku takut."

"Lawan rasa takut kamu, Fida! Kalo kamu nggak pernah ngelawan rasa itu, selamanya kamu nggak akan jadi pemberani!" teriak Fifah dari dalam kamar. Tentu hal itu bukannya membuat Fida merasa tertantang, justru ia malah semakin kelimpungan karena tamu itu sudah mengetuk pintu rumah mereka.

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuWhere stories live. Discover now