DCKD 29

5.5K 291 0
                                    

"Ini kopinya, Yah."

Lelaki itu hanya meliriknya sekilas dari balik koran. Susah payah Hilma telan salivanya. Beginikah rasanya diasingkan oleh Ayah dari suaminya?

"Sebenarnya Ayah orang baik kok, Dek. Hanya saja ... mungkin karena aku ini tidak menurut padanya jadi berdampak juga bagi kamu. Maaf ya," kata Adri ketika mereka berada di ruang yang sama dan hanya berdua.

Hilma menghela napas.

Kalau Ibu tidak memohon untuk tetap tinggal di sini, tentu Adri sudah kembali ke Yogyakarta. Sayangnya Adri sudah begitu merasa bersalah jadi ia tidak tega membuat Citra kembali bersedih.

Pelbagai bisnisnya di sana hanya dipegang oleh asistennya dan Hilma, sebagai pusat berbagai busana online di Yogya terpaksa harus libur untuk beberapa hari.

"Jangan bicara begitu, Mas. Aku tidak apa-apa," Hilma mencoba tegar.

"Kamu nggak apa-apa, kan, libur beberapa hari lagi?" tanya Adri.

"Terserah Mas Adri. Sebagai seorang istri, sudah seharusnya aku menurut pada suami."

Adri terdiam sesaat.
Ia teringat Ayahnya yang masih bersikap sama. Tidak hanya padanya saja. Kepada Hilma, apalagi kepada Irfan yang ditargetkan untuk menikah dengan putri sahabat bisnisnya pun demikian.
Sayang, Ayah memang teguh pendirian. Namun, keteguhannya ditempatkan pada keinginan pribadinya saja. Tanpa memandang bagaimana perasaan putra-putranya. Bahkan, laki-laki itu mengabaikan Alfa ketika bocah kecil itu selalu ingin dekat dengan Kakeknya. Entah saat bermain dengan Irfan, yang ada begitu melihat kakeknya Alfa malah menghambur ka arahnya. Tentu Irfan yang paham dengan gelagat Ayahnya langsung mengejar Alfa berniat mencegah. Namun, anak itu tak dapat dicegahnya. Aah ... biarlah! Toh Ayah adalah Kakeknya Alfa? pikirnya demikian.

"Kakek, main yuk! Alfa udah punya pesawat-pesawatan. Tadi, tadi Om Ilfan yang ajalin bikin." Bocah kecil itu berdiri di samping kakeknya yang tengah melamun di balkon. Sesekali ia menerbangkan pesawat kertasnya, kemudian menghampiri pesawatnya, diambilnya, kembali diterbangkannya.

Irfan terpaku di luar kamar Ayahnya seraya mengamati sekaligus mengawasi pria itu yang mengabaikan cucunya. Irfan menghela napas. Kenapa bocah kecil seperti Alfa harus tertarik kepada Ayah sementara laki-laki itu tak menganggapnya ada? Apa tidak terlintas sedikitpun oleh Ayah jika putra kecilnya diperlakukan seperti itu oleh Kakeknya bagaimana perasaan orang tuanya.

"Kakek." Alfa menarik-narik celana pria itu. "Kakek kenapa dipanggil kakek?"

Sedikit, pria itu mulai mengalihkan pandangannya ke bawah di mana cucu pertamanya berdiri menatap dirinya yang jauh lebih tinggi. Ia mengerjap. Tersenyum tipis, kemudian menyamakan tingginya dengan Alfa. Kemudian dibelainya rambut hitam nan halus milik cucunya. Irfan yang berada di lain tempat agak jauh dari keponakannya berada malah terperangah. Ia benar-benar tidak menyangka akan reaksi Ayahnya. Karena itulah, ia segera pindah dari posisinya, bersembunyi di balik tembok.

"Karena ... Kakek udah punya cucu. Jadi dipanggil kakek sama kamu," begitulah jawaban yang Irfan dengar. Sejenak hatinya terenyuh. Ia melongokkan sedikit kepalanya agar dapat menyaksikan mereka berdua.

"Kata Papa, olang dewasa itu pintal. Belalti, Kakek bisa bikin pesawat kayak Om Ilfan?" tanyanya polos.

Ia tersenyum. "Tentu bisa."

Tatapan Alfa terus mengekor kemana Kakeknya melangkah. Tampak ia mengambil sebuah buku kemudian merobek selembar kertas. Ia kembali mendekati Alfa, duduk di lantai dan mulai membuat sesuatu dengan kertasnya.

"Kakek, kakek mau bikin pesawat ya?" tanya Alfa.

"Iya,"

"Asiiikkk! Kakek mau bikinin Alfa pesawat. Telima kasih, Kakek." Setelah melompat-lompat, Alfa memeluk leher Kakeknya.

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuWhere stories live. Discover now