DCKD 20

6.8K 296 4
                                    

Tekadnya sudah bulat. Ia benar-benar harus mencari kerja untuk bekal masa depannya yang sudah digariskan bersama Fifah. Mungkin inilah yang disebut takdir Tuhan. Mau lari kemanapun jua, tak ada jalan keluar.

Ba'da menunaikan shalat tahajud, Irfan berkemas-kemas. Rencananya, setelah tampil di Unsoed esok hari, Irfan akan segera pergi ke kota untuk mencari kerja.
Ia masukkan beberapa baju dan juga kebutuhan lainnya ke dalam tas. Tas itu adalah tas kumal yang dulu Irfan anggap jelek dan benar-benar sudah tidak layak pakai karena lusuh dan lemas seperti tak bertulang. Namun apalah daya tak disangka. Ternyata tas buluk itu setia mendampinginya kemana-mana, hingga ia bertemu calon jodohnya.

Zihro, yang sedari tadi bersandar di ambang pintu kamar dan bergeming menatap kesibukkan Irfan, akhirnya mendekati sahabatnya. Ia tepuk salah satu pundak sahabatnya itu, lalu ia duduk di sampingnya, lagi-lagi terpekur memandangi kesibukan Irfan.

"Kamu yakin, Fan, mau pergi besok?" tanya Zihro. Nada suaranya terdengar bergetar sebab tersimpan kekhawatiran yang mendalam.

"Insyaa Allah, aku yakin!" jawab Irfan, masih sibuk memilah-milah baju yang kemudian dimasukkannya ke dalam tas. Oh! Bukan dimasukkan. Lebih tepatnya dipaksa masuk ke dalam tas.

Zihro menatap sahabatnya, melas. Sepertinya Zihro keberatan melepas Irfan. "Nda ada hari lain opo Fan?"

Irfan menghela napas, sejenak ia berhenti melipat baju-bajunya, menolehkan pandang ke arah samping di mana Zihro berada, "Tentu ada. Tapi, kalo aku nunggu besok, besok, atau besoknya lagi, itu akan lama. Toh aku nda tau kapan bisa dapat kerjaan? Aku rasa ... lebih cepat lebih baik, Ro. Apalagi ini sudah masuk semester dua Fifah di kelas tiga. Aku harus menepati janjiku pada Ayahnya Fifah."

Zihro tak berkutik. Entah sudah yang ke berapa kali darahnya mengalir dari sayatan luka di jantungnya. Di sisi ia rasakan ribuan belati menusuk jantungnya yang mungkin kini sudah koyak karena dalam waktu beberapa bulan Fifah kan menjadi kekasih halal Irfan, Zihro juga harus kehilangan Irfan tuk saat ini.
Ia terdiam, memandangi tas Irfan yang kini lebih mirip buntelan. Sementara Irfan kembali memilah-milah bajunya.

"Itu artinya ... besok penampilan terakhir kita?" tanya Zihro.

Irfan tersenyum meski perasaannya tak kalah getir. Sejenak hening di antara mereka, hingga terasa angin malam silih berganti keluar masuk melalui celah-celah lubang udara.

"Nda! Besok bukan penampilan terakhir kita!" kata Irfan dengan nada tegas, seolah meyakinkan.

Zihro terperangah dengan manik mata yang tersorot cahaya lampu. "Maksudnya?"

"Aku janji! Suatu saat nanti, aku akan balik ke sini lagi! Dan kalau Allah izinkan, hadroh Raufurrahiim bisa tampil denganku lagi." Irfan kembangkan senyumnya yang kian merekah. Masih mengandung getir pahit yang diteguknya mentah-mentah.

Meski ragu, Zihro pun turut melengkungkan kedua sudut bibirnya ke atas. Toh, Irfan sudah berjanji? Janji harus ditepati? Kalau tidak ditepati akan dosa?
Irfan tau ganjaran dari perbuatan dosa! Itu artinya, Irfan akan menepati janjinya.

Mau tidak mau, Zihro mencoba optimis dan meyakinkan diri bahwa sahabat terbaiknya -Irfan- akan kembali ke pesantren. Yaah, meski rasa khawatir dan was-was masih menyergap dada Zihro hingga terbit fajar di sebelah timur.
Bahkan ketika mereka bersiap-siap hendak ke Unsoed pun Zihro bukannya tenang, malah semakin was-was.

Sementara itu, di sebuah rumah sederhana dengan pelataran tanpa bunga-bunga. Meski tak bertetangga dan hanya dihiaskan kerikil-kerikil pada tanah latarnya, gadis bernama Fifah masih mendekam di dalam kamar. Lagi-lagi gadis itu memerhatikan sketsa sepasang anak manusia yang kemarin dikirimkan Irfan dengan saksama. Seperti diterpa angin sepoi di pinggir pantai, secuil ketentraman dan kebahagiaan ia rasakan ketika dirinya menatap setiap goresan pensil itu. Seolah-olah Fifah dapat merasakan bahwa goresan pensil pada sketsa itu dibuat dengan tulus dan ketenangan jiwa si penggambarnya.

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuWhere stories live. Discover now