DCKD 14

6.5K 313 9
                                    

Hal apa yang membuat Irfan ingin menikahi gadis yang masih sekolah? Apakah ia seorang gadis cantik? Baik ilmu agamanya? atau karena hal lain?

Ya, bukan apa-apa sih. Bukankah baiknya laki-laki lima tahun lebih tua dari perempuan untuk dijadikan pasangan hidup?
Tapi tidak menutup kemungkinan juga kalau perempuannya sepantaran dengan laki-laki atau malah lebih tua. Tetapi, alangkah baiknya jika sang laki-laki usianya lebih tua. Supaya kelak sang laki-laki ini mampu membimbing sekaligus mendidik istrinya.

Citra. Sekali bertemu, wanita itu kekeh ingin melihat calon menantunya. Katanya, biar lebih akrab sekalian menjalin tali silaturahmi dengan keluarga calon mantunya.

Irfan gelagapan. Bukan apa-apa, hanya saja ... ia belum siap. Dan kenapa semuanya serba dadakan? Pikir Irfan demikian. Mulai dari pertemuannya dengan gadis itu yang mendadak berujung dengan khitbah, lalu datangnya Ibu yang mendadak ingin bertemu calon menantunya.

Irfan menahan napas sejenak kemudian dibuangnya perlahan.
Berbagai cara ia cegah dengan dalih bahwa calon menantu Citra sedang sekolah, eeh tetap saja kekeh ingin berkunjung ke rumahnya.

"Kalau perlu, kita tunggu sampai calon istrimu pulang sekolah bagaimana?"

Waduh! Darah Irfan berdesir. Nekat nian Ibunya. Padahal Irfan sudah bilang ini itu ini itu dan segala macamnya untuk jadi alasan.

"Duh! Irfan jadi ngerasa nggak enak sama Ayahnya, Bu ..."

"Kasihan calon istri Irfan bu ... Masak pulang sekolah capek-capek harus nemuin tamu?" ujar Irfan, "pasti Ibu mau nanya macem-macem, deh!"

"Besok-besok aja ya, Bu?"

"Gimana kalo hari ini Ibu Irfan ajak keliling desa? Pemandangannya iiinnndah banget! Dijamin Ibu pasti nda mau balik ke kota!"

Bla ... Bla ... Bla ....

Segala upaya Irfan usahakan. Tapi? Nihil! Kegigihan Citra sebagai seorang Ibu  memang patut dijadikan tauladan. Terlebih untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Tapi tidak untuk saat ini. Sebab Irfan benar-benar nervous setengah mati. Wong pas mengkhitbah Fifah saja jantungnya berdentum-dentum seperti musik diskotik. Jangankan ini? Untuk yang kedua kalinya harus kembali merasakan dentuman itu.

"Kebetulan sekali, Nang! Sejak kamu telepon Ibu, nggak tau kenapa Ibu jadi pengiiinn banget membelikan sesuatu buat calon istrimu. Biar makin cinta nantinya," terangnya dengan wajah yang begitu ceria.

Eh? A-apa tadi? Makin cinta? Siapa yang makin cinta? Cintanya ke siapa? Benak Irfan bertanya-tanya.

Jujur, kali ini ia rasakan bahagia dan was-was menjadi satu. Bahagianya karena Irfan bisa kembali bertemu Citra, was-wasnya karena ia belum siap jantungnya kembali berdentum hebat ketika berhadapan dengan calon mertuanya.

"Coba, Nang. Kamu ambilkan Ibu kotak biru di bagasi!" perintah Citra.

Irfan menatap wanita itu dengan ribuan tanya. Namun, yang ditatap tersenyum seraya menepuk jok di sebelahnya."Udah, kamu melangkah lewat sini aja. Dulu kamu juga suka begitu, kan?"

Irfan mengangguk pasrah. Bagaimanapun juga, ini perintah Ibu. Jadi? Laksanakan! Meski keraguan antara takut sarungnya tersingkap dan kurang sopan juga ketika posisinya harus lebih tinggi dari Citra yang sedang duduk, kini kotak berwarna biru dengan sebuah pita putih menghiasi bagian tengahnya berhasil Irfan raih. Irfan kembali duduk kemudian menyodorkan kotak itu pada Citra.

"Pegang aja, itu buat calon istrimu."

Deg!

Lagi-lagi darah Irfan berdesir. Entah kenapa hal itu selalu terjadi ketika seseorang mengaitkannya dengan kata 'istrimu' atau 'calon istrimu' atau lainnya yang menjurus ke satu titik. Yaitu gadis yang Irfan khitbah namun sama sekali tidak ia ketahui namanya.

Irfan sendiri heran. Kenapa Citra begitu sempat menyiapkan kado untuk gadis itu? Bukankah mereka belum pernah bertemu? Atau jangan-jangan ... seperti inilah tradisi perempuan untuk mengikat keakraban?

Mobil silver yang mereka tunggangi melaju dengan kecepatan dibawah 20 km/jam. Karena di pedesaan yang masih benar-benar kental guyup rukunnya sehingga banyak warga berlalu-lalang dengan jalan kaki, terpaksa Joko harus benar-benar lamban mengemudikannya.
Apa lagi ketika melintasi jalanan menanjak berkelok-kelok yang kanan kirinya masih pepohonan lebat. Di pagi hari seperti ini, daerah-daerah seperti ini masih tertutup sinar matahari. Bahkan sinarnya berusaha menerobos tiap celah di antara dedaunan yang menutupi teduhnya jalan.

Sesekali Irfan perhatikan Citra yang begitu menikmati suasana desa. Begitu sudah dekat dengan rumah sederhana yang beberapa hari lalu dikunjungi Irfan dan Pak kyai beserta beberapa orang santri, mobil itu menepi lalu berhenti di sisi jalan yang agak datar.

Mereka pun turun dari mobil mendekati pelataran rumah sederhana nan sepi. Citra menoleh kanan kiri bahkan mendongak ke atas sambil bibirnya tak berhenti tersenyum.

"Duh! Jangan sampai nanti Ibu nggak mau pulang dengan alasan betah di sini. Bisa gawat urusannya," batin Irfan berkata.

"Ini rumah calonnya Mas Irfan?" tanya Joko yang berjalan di belakang Irfan dan Citra. Sama seperti Citra, lelaki itu pun terkagum-kagum dengan pepohonan tinggi menjulang yang tumbuh di kanan-kiri jalan tetapi daunnya mampu menutupi langit-langit di atas jalan. Inilah yang memberi nuansa teduh meski matahari sudah setinggi tombak.

Dada Irfan bergetar hebat. Dalam hati, ia berdoa semoga rumah ini sepi karena demi apapun saat ini ia tidaklah siap untuk bertemu Ayah calon istrinya. Namun di sisi lain, ia juga tidak dapat mencegah niat baik Citra untuk bersilaturahmi.

"Rumahnya sepi ya, Mas," Joko kembali berucap.

Mereka mulai menapaki pelataran, hingga akhirnya menginjak lantai teras. Citra menoleh pada Irfan seolah meminta persetujuan untuk mengetuk pintu. Irfan mengangguk pasrah dengan seulas senyuman.

Pintu pun diketuk. Sekali, dua kali, hingga yang ketiga kali mereka mengetuk pintu masih dengan ucapan salam.

"Sepertinya tidak ada orang, Bu," tukas Joko demikian. Lelaki itu mulai berjalan di area pelataran rumah. Tak ada tanda-tanda kehidupan pula.

"Sepi, Mas," katanya, begitu Irfan perhatikan Joko menoleh padanya.

"Coba sekali lagi ya, Bu. Kalo masih nda ada jawaban kita pergi saja," saran Irfan.

Citra kembali mengetuk pintu untuk yang keempat kalinya. Tidak ada jawaban. Hingga yang kelima kali, masih belum ada juga yang membukakan pintu.
Mereka pun memutuskan kembali ke mobil. Namun, belum genap dua langkah mereka balik badan, terdengar suara kenop pintu ditekan. Pintu pun terbuka.

Rio. Lelaki itu sedikit memunculkan kepalanya dari balik pintu dan menyipitkan matanya seakan menahan kesilauan. Rambutnya yang mulai panjang dan belum dicukur terlihat awut-awutan menujukkan bahwa ia baru bangun tidur. Diperhatikannya satu persatu orang yang kini berdiri di pelataran rumahnya. Seorang pria berbaju hitam khas sopir, seorang wanita ke-Ibuan dengan gamis berpadu khimar panjang menjuntai hingga pinggang, dan ... laki-laki berpeci dengan sarung yang dipadukan dengan koko putih. Sekilas sepertinya Rio pernah melihat Irfan. Hanya saja ia tidak paham betul kalau Irfan adalah calon suami Fifah.

"Maaf, cari siapa ya?" tanya Rio.

"Apa benar ini rumahnya ..." belum selesai Citra menyelesaikan kalimatnya, ia malah sedikit mendongakan kepala ke samping agak atas untuk mendapatkan kontak mata Irfan. Lantas ia kecilkan suaranya. "Siapa nama calon istrimu?"

Irfan mengangkat bahu dengan gelengan kepala.

Citra mendelik. "Hei! Kasih tau Ibu, Irfan!"

"Irfan nggak tau namanya, Bu!" Suaranya nyaris berbisik namun masih bisa ditangakap oleh Rio. Sementara Joko, ia menghela napas seraya menahan tawa melihat tingkah laku anak dan Ibu.

"Irfan?! Nama calon istrimu sendiri masak nggak tau?!" geram wanita tersebut. "Malu-maluin aja!"

"Kita belum kenalan, Bu!"

"Belum kenalan bagaimana bisa naksir?" Citra tambah geram.

Irfan menepuk dahi, pasrah.
Nda ada naksir-naksiran, bu! Sungguh nda ada. Batinnya berkata demikian.

***

29 Desember 2018
💜

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuWhere stories live. Discover now