DCKD 15

6.9K 304 2
                                    

"Ooh kalian keluarga dari calon suaminya Fifah ya?" tanya Rio demikian.

Citra dan Irfan saling pandang seolah saling menanyakan satu sama lain. Apakah benar namanya Fifah?

"Oih silakan, silakan masuk." Rio membuka pintu lebar-lebar seolah memberi ruang untuk mereka jalan. Namun, Irfan dan Citra kembali saling pandang.

"Ng ... Kalau boleh tau, Fifahnya ada?" dengan sangat hati-hati Citra bertanya.

"Fifah? Ehm ..." Sejenak Rio menoleh ke ruang dalam, tepatnya pada sudut ruangan. Biasanya di sanalah sepatu Fifah berada. Namun, kali ini kosong. Itu artinya ....

"Fifah udah berangkat sekolah."

"Ooh begitu ... Ehm ... Kalau orang tuanya Fifah ada?" Ciyra kembali bertanya. Irfan semakin merem melek seraya memohon doa kepada Allah agar nekatnya wanita di sebelahnya ini segera berakhir.

"Hmm nggak ada juga. Hanya ada saya, Bu. Silakan masuk, kita bisa ngobrol di dalam. Hehehe."

Lagi-lagi Citra memandang Irfan. Kemudian ia menghela napas seraya tersenyum lembut. Niat baiknya belum terlaksana. Tapi tak apa. Yang penting ia sudah tau di mana rumah calon menantunya. Jadi, kapan-kapan ia bisa saja kemari tanpa harus sepengetahuan Irfan yang banyak alasan!

"Kami hanya mampir sebentar, dan ... ini ada sedikit pemberian dari kami untuk Nak Fifah. Tolong sampaikan salam saya kepada Nak Fifah dan juga orang tuanya ya, Nak." Wanita tersebut memberikan sebuah kotak biru kepada Rio.

Tak perlu waktu lama, Joko berlari kecil ke arah mobil, menghidupkan mesinnya, lalu mereka pamit pulang. Meninggalkan Rio yang masih termenung bersama kotak di genggamannya. Kotak biru, berpita putih di bagian atasnya. Aroma parfume menyeruak, membuat Rio penasaran apa isinya.

Dilihatnya kotak itu, diputar-putar dari samping ke samping, atas bawah, lalu dikocok-kocok seperti mendeteksi jajanan yang berhadiah. Tidak bersuara. Namun, agak berat terasa.

"Beruntung banget jadi Fifah. Punya calon suami yang ternyata orang kaya," pikir Rio demikian.

Lelaki itu pun kembali masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Diletakkannya kotak itu di kamar Rio. Karena niatnya ia akan memberikannya langsung pada Fifah. Bukan meletakkan kotaknya di meja belajar Fifah. Kalau begitu, nanti yang ada kotak yang lebih mirip kado itu disangka buat Fida. Dan yang pasti sudah hancur sebelum pemiliknya pulang.

Rio menghembuskan napas. Ia kembali tiduran di atas kasur sambil menatap langit-langit kamar.

***

"Kan, Irfan bilang juga apa. Fi ... siapa tadi Bu namanya?" tanya Irfan.

"Fifah," jawab Citra pelan sebelum akhirnya ngomel-ngomel. "Kamu ini gimana sih! Calon istri sendiri nggak tau namanya. Besok kalo akad di depan penghulu bagaimana?"

Pepohonan rindang di kanan kiri jalan terlewati begitu saja. Irfan mengedarkan pandangan keluar jendela mobil sembari mendengar ucapan Citra yang berpadu dengan suara kulit kacang dikupas. Kebetulan, wanita itu membawa cemilan sendiri dari rumah. Sementara Irfan? Ia tidak begitu suka dengan kacang goreng karena hal itu membuat tenggorokannya gatal. Di sisi lain, ia adalah sosok yang sangat menjaga pola makannya. Apa lagi makanan berminyak. Ia jauhi betul-betul supaya suaranya tetap bagus. Ya, karena Irfan adalah vokal dari grup hadroh pesantrennya yang sering manggung di sana-sini. Entah acara maulid nabi Muhammad saw, atau acara pengajian, atau acara perpisahan sekolah.

"Salah nama bisa-bisa nggak sah, lho! Nanti kamu nggak bisa tidur bareng istri kamu!"

Irfan menoleh seraya mendelikan mata. Lalu wajahnya bertampang melas. "Yah ... yah ... Doanya jangan gitu dong, Bu."

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuWhere stories live. Discover now