DCKD 24

6K 298 2
                                    

Lima tahun sudah berlalu tidak membuat banyak perubahan pada daerah tempat tinggalnya dulu. Hanya saja terlihat satu dua pohon besar yang dulu masih ada, kini sudah tergantikan oleh bangunan. Rumah-rumah yang dulunya bercat putih atau kuning atau warna lain kini tampak lusuh dengan retakkan tembok atau lumut-lumut yang menempel. Beberapa tempat yang dulunya adalah minimarket berubah menjadi rumah biasa atau bahkan ada bangunan yang dibiarkan begitu saja hingga lapuk.

Beberapa masih terlihat sama dengan rutinitas seperti biasanya. Kendaraan yang berlalu lalang, asap kendaraan yang mengepul hebat, atau asap rokok yang begitu liar mengudara.

Setelah menempuh perjalanan selama semalam kini Irfan menyusuri trotoar. Bagian atas kemeja yang sengaja tidak ia kancingkan memperlihatkan bentuk segitiga dari kaosnya. Ia menggunakan celana jeans lusuh sedikit kebesaran bolong-bolong pada bagian lutut yang berpadu dengan sneakers lawas. Lama sekali Irfan baru mengenakan pakaian seperti itu.
Entah terlihat seperti orang hilang atau kebingungan. Jalanan yang ia pijak kini masih sama persis seperti dulu dan itu tidak mungkin membuatnya lupa.

Kalau dulu, Irfan tidak pernah berjalan kaki apa lagi sengaja melintas di trotoar waktu panas-panas seperti ini. Ia selalu mengutamakan motor sebagai alat yang digunakan untuk bepergian. Entah itu jauh atau dekat, berada di bawah sinar matahari nan terik memang membuatnya merasa seperti terbakar. Apalagi ia lama tinggal di daerah pegunungan. Pergi ke Jakarta seperti mendekati sumbu neraka rasanya.

Tanpa Irfan sadari, sebuah mobil jeep telah menjajari langkahnya dengan kecepatan sangat lambat. Si pengemudi menurunkan kaca mobilnya, kemudian ia tekan klaksonnya.

Irfan menoleh. Memerhatikan dengan saksama siapa pengemudi itu.

Mobil berhenti. Irfan pun berhenti. Seseorang keluar dari dalam mobil, berlari kecil mendekati Irfan.

"Irfan, kan?" tanya laki-laki itu.

Irfan mengernyit. Sepertinya ia pernah melihat lawan bicaranya ini. Tapi ... di mana ya?

"I-iya,"

"Hei! Whatssup bro! Lo apa kabar?" Laki-laki itu menyalami Irfan lantas memeluknya.

Irfan masih melemparkan tatapan penuh tanya. Siapakah gerangan pemuda berjas hitam dengan rambut klimis di hadapannya ini?

"Lo ... lo inget gue nggak sih. Kok mukanya cengo gitu?"

"Nah itu dia masalahnya. Kalo gue inget elo, gue nggak bakal bingung begini."

Lelaki di hadapan Irfan itu mengantongi tangannya ke saku celana seraya menghentakan salah satu kakinya yang bersepatu hitam klimis ke tanah. Salah satu sudut bibirnya ditarik ke atas dengan dagu yang sedikit diangkat.

"Ibrahim Gustav Raharja."

Irfan terbelalak. Lalu memutar-mutar tubuh lelaki itu. Ia pandangi dari atas ke bawah hingga dari bawah kembali ke atas lagi.

"Lo ... Lo beneran Ibrahim? Ibrahim yang dikenal dengan sebutan ...."

"Baim!" sambung laki-laki itu.

"Waaah! Baim! Apa kabar lo, Im?" Irfan memeluk Ibrahim. Tak sampai tiga detik ia sudah melepas pelukannya. "Lo sekarang beda banget ya! Gue hampir gak ngenalin elo, Im! Ck ck ck."

"Kabar gue yaa apa yang lo liat saat ini. Lo apa kabar? Kemana aja si? Kok gue ngerasa kehilangan jejak lo?"

Irfan terkekeh mendengar pertanyaan beruntun itu. "Ng ..."

"Eh. Kita cari tempat ngobrol yang enak yuk! Lagian kan di sini ...." Baim menatap ke udara. "Panas."

Irfan kembali terkekeh sambil menggeleng kecil. Mereka pun pergi ke sebuah cafe bernuansa klasik yang mana cafe tersebut adalah cafe favorit anak-anak SMA pada zamannya Irfan dan Ibrahim.

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuWhere stories live. Discover now