DCKD 08

8.7K 410 2
                                    

Gedung-gedung pencakar langit kota. Di dalam gedung itu udara air conditioner terus menguar, kursi empuk dan berbagai macam kecanggihan teknologi beserta karyawan-karyawan perempuan berstelan rok di atas lutut berlalu lalang. Di sanalah Ayah Irfan bekerja. Pemilik sekaligus Direktur utama yang setiap harinya berstelan jas dan berdasi. Rapi.

Beberapa tahun yang lalu, ketika Irfan duduk di bangku kelas 3 SMA. Ayahnya sangat ingin begitu putranya lulus, langsung melanjutkan kuliah bisnis supaya bisa meneruskan perusahaan yang dimilikinya.

"Tapi Irfan maunya kuliah di ITB, Bu!" kata Irfan saat dinasihati oleh ibunya.

Kepalanya menengadah pada wanita yang duduk di sofa, sementara Irfan duduk di bawah karena sedang belajar. Tampak pria paruh baya yang biasa ia sebut Ayah rahangnya mengeras. Anak ini benar-benar bandel! gumamnya dalam hati.

"Mau kuliah di ITB, London, Surabaya, semuanya sama, Nang. Asalkan kamu punya niatan," wanita itu menasihatinya, lembut.

"Seharusnya kamu bersyukur Ayahmu ini mampu membiayai kuliah di luar negri! Bukannya Ayah sudah bilang? Ayah sudah menyiapkan segalanya untuk kamu kuliah di Amerika supaya kelak kamu bisa menggantikan posisi Ayah di perusahaan!" kali ini suara Ayah Irfan terdengar tidak lagi bersahabat, "Ayahmu ini sudah memikirkan masa depan putranya matang-matang! Begitu kamu lulus kuliah, kamu gantikan posisi Ayah, selanjutnya sudah ada Salsa yang menunggu kamu untuk jadi calon suaminya! Tolong mengerti hal ini, Irfan!"

"M-maksudnya ... aku dijodohin?" tanya Irfan.

Pria paruh baya yang tengah menghadap koran itu menghela napas. "Tolong katakan yang sebenarnya pada putramu, Bu! Ayah lelah bicara denganya! Dan katakan padanya, kalau dia tidak mau nurut, lebih baik dia pergi dari rumah ini!"

Ayah meninggalkan istri dan putranya yang masih duduk di ruang tengah. Irfan bergeming dan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat karena sejak tadi ia meredam amarah. Amarah yang tak berkesudahan dan kenapa mimpinya harus kontra dengan keinginan Ayah?

"Kalau kamu masih tidak mau nurut sama Ayah, pergi dari rumah ini dan jangan pernah kembali! Aku bukan Ayahmu lagi!" Keesokan harinya, masih sama. Kenapa harus berkata begitu?

"Ayah! Kenapa bukan Bang Adri yang dojodohin sama Salsa? Kenapa harus aku, Yah?!"

"Jangan sebut nama Adri lagi! Abangmu itu sudah pergi karena tidak mau mendengar apa kata Ayah! Kamu juga mau seperti dia?!"

Irfan yang saat itu belum paham betul tentang ilmu agama, beranjak dari posisi duduknya, memasuki kamar. Membanting pintu yang suaranya berhasil membuat kaget Ibu.

"Anak tidak tau diuntung!" tukas Ayah.

Citra, sang Ibu menghela napas. Sebagai wanita satu-satunya di rumah itu, ia berperan menjadi penengah. Bukan memihak salah satu. Karena baginya, di sisi suaminya berkeinginan putra bungsunya mengikuti jejaknya sebagai pembisnis, justru Irfan ingin mengejar cita-citanya yang lain.

"Ayah ... Kasihan jantung Ayah. Jangan terus-terusan memarahi Irfan, Yah ..."

Hembusan napas kasar tampak jelas pada dada pria paruh baya itu. Sementara di luar sana, hujan dalam pekatnya malam tengah mengguyur.
Irfan keluar kamar dengan membawa tas lusuhnya yang lebih mirip buntelan. Ya, tas lusuh yang sudah lama tidak ia pakai karena dulu, ia pikir itu sudah tidak layak pakai.

"Irfan mau kemana, Nang?" tanya Citra begitu Irfan menghampirinya, hendak mencium tangan.

"Irfan pamit, bu. Irfan pergi dulu."

"Pergi kemana? Di luar sedang hujan, kamu jangan hujan-hujanan." Citra mendongak ke arah putranya. Tatapan itu ... menyiratkan kekhawatiran yang mendalam.

Tidak menjawab pertanyaan, Irfan pergi meninggalkan Ibu dan Ayahnya. Meski suara Citra terus memanggil, ia sempat dengar Ayahnya berkata, "Biarkan saja bu! Paling dia pergi ke rumah kakeknya!"

Irfan melajukan motornya. Menjauhi rumah dalam derasnya hujan.

Dan kini, panggilan Ibunya pada malam itu masih saja terngiang jelas di telinga Irfan meski sudah berlalu bertahun-tahun lamanya.

Lantas ia sadar. Ketika dirinya marah pada orang tua, itu tidaklah baik. Dan ia pun sadar. Beberapa tahun yang lalu, ia lebih memilih pergi dari rumah daripada harus menuruti keinginan Ayahnya. So? Aku punya mimpi lain, Ayah!

Pak kyai dan Irfan beserta santri-santri yang sejak tadi menunggu di luar, pamit. Tak lupa ia haturkan permohonan maaf pada Ayah Fifah.
Dan khitbah pada malam itu ... ternyata bukanlah sekadar ucapan belaka. Irfan telah mendapat ilmu perihal pernikahan dari Pak kyai. Maka dari itu ia yakinkan calon mertuanya dengan jelas, bahwa suatu hari nanti ia akan datang menjemput calon istrinya yang akan diajaknya menuai bahtera rumah tangga setelah akad. Ayah Fifah pegang janji itu.

Di luar rumah bersamaan dengan keluarnya para santri, Rio yang mengendarai motornya memasuki pelataran rumah. Biasalah, ia memang selalu pulang malam karena kini ia harus kerja.

Alangkah terperangahnya Rio ketika mendapati beberapa laki-laki berpeci berjalan menjauhi rumahnya. Tentu hal ini tidak biasa. Bukannya tersenyum, Rio cuek bebek sambil memasukkan motornya. Lalu mematikan mesinnya. Setelah rombongan itu benar-benar tidak terlihat, Ia beranjak ke ruang makan dan mengambil segelas air.

"Mereka ngapain ke sini, Dhe?" Pakdhe, begitu Rio memanggil Ayah Fifah.

"Ooh itu. Anu, santrinya Pak kyai Nurdin abis ngelamar Fifah."

"Uhuk! Uhuk!!" tidak tanggung-tanggung, air yang tadinya hendak masuk ke tenggorokkan malah keluar.

Ayah Fifah menoleh. "Pelan-pelan ... Minumnya sambil duduk."

"F-Fifah dilamar, Dhe?" tanya Rio setelah batuknya reda. Tatapan itu seolah tidak percaya.

"Iya,"

"T-tapi kan ... Fifah masih sekolah? Mana bisa begitu?"

"Bisa ... Calon suaminya mau menunggu hingga Fifah lulus sekolah."

"Seriusan?"

"Serius."

"Dih! Nekat!" ujar Rio, "terus ... diterima sama Fifah?"

"Alhamdulillah diterima," ucap Ayah Fifah.

Rio bergeming. Mentah-mentah ia telan salivanya yang terasa getir. Entah kenapa tiba-tiba benaknya berkata, "Apa-apaan ini? Aku nggak pernah tau Fifah punya pacar. Tapi kenapa tiba-tiba dia udah dilamar?"

Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di benak Rio. Sebuah perasaan mirip tidak suka namun, perasaan itu juga mendorongnya akan lebih giat bekerja supaya bisa cepat-cepat mengkhitbah Rina.

"Pokoknya aku nggak boleh keduluan sama Fifah!" batin Rio berkata.

***

28 Desember 2018
💜

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuWhere stories live. Discover now