DCKD 31

6.1K 305 7
                                    

Menjelang adzan asar bertepatan dengan Ayah Fifah yang pulang dari sawah, Citra pamit pulang. Ya, meski hal itu sebenarnya hanya sebentar, Citra sempat bertemu calon besannya dan sedikit bincang-bincang kekeluargaan. Setelah itu, mereka benar-benar pergi menyisakan kelegaan di dada Fifah berikut Ayahnya.

Ibunya memang menyenangkan. Tetapi, anaknya sangat menyebalkan! Hanya beberapa sketsanya saja yang membuatku jatuh cinta. Ingat! Hanya sketsanya saja! Bukan orangnya! pikir Fifah demikian.

Gadis itu meletakkan beberapa paperbag berisi pemberian Citra di meja belajarnya. Usai membedah dan lagi-lagi wanita itu berhasil membuatnya jatuh cinta, Fifah menatap dirinya lekat-lekat di depan cermin. Apakah ini salah satu pendekatan yang wanita itu lakukan supaya calon menantunya tidak ketakutan? Karena kebanyakan calon mertua kan kesan pertamanya itu menakutkan. Tapi ... Fifah rasa biasa aja tuh!

Hari-hari berikutnya semua seolah berjalan sangat cepat. Kata orang tua, dulu waktu berputar begitu lambat. Sedangkan sekarang, mereka berkata sebulan terasa satu minggu, seminggu terasa seperti satu hari. Satu hari terasa seperti satu jam. Dan keesokan harinya tau-tau sudah bertemu dengan hari minggu lagi.

Aah! Mereka benar! Waktu memang sangat cepat berputar hingga tak terasa Ujian Nasional sudah Fifah lalui. Apakah semakin cepatnya waktu yang berputar ini karena rotasi dan revolusi bumi yang semakin cepat pula? suatu hari nanti karena ia semakin tua dan tentunya lelah, pasti akan berhenti. Pada saat bumi berhenti itulah dunia akan terjadi kiamat. Astaghfirullahal'adziim ....

Sekarang, Fifah merasa bebas! Tidak perlu pusing-pusing memikirkan pelajaran, tinggal menggapai cita-cita tuk membiayai hidup adik dan Ayahnya.

Sementara Zihro yang masih menetap di pondok pesantren, ia terus menghitung hari demi hari hingga datanglah berbulan-bulan lamanya di bulan ini. Belum ada kabar pasti dari Irfan, sahabatnya itu sudah sampai pada tahap apa kerjanya dan sudah menjadi seperti apa. Yang ia pastikan, tentu Irfan sudah kerja. Tidak mungkin belum!

Sejak kemarin, cowok itu terus memerhatikan amplop biru yang digenggamnya. Ya, amplop biru bertuankan Irfan yang tak beruntung tuk sampai kepadanya.

Sore itu, mereka baru pulang mengantar Irfan dari stasiun. Setelah teman-temannya turun dari mobil, Zihro memasukan mobil Pak kyai ke garasi. Alangkah terkejutnya ia begitu keluar dari garasi terdapat dua bocah perempuan dengan tas gendongnya, mereka menatap Zihro penuh harap. Viska dan Fida.

"Ada apa?" tanya Zihro.

"Mas kenal sama Kang Irfan?" tanya Viska.

Zihro menjawab, "Kenal. Kenapa?"

"Titip surat buat Kang Irfan, ya." Fida menyodorkan surat itu kepada Zihro.

Usai surat diterima, mereka berdua pamit pergi dan meninggalkan Zihro yang masih tercengang seorang diri. Jika mengingat warnanya, amplop yang ada di tangan Zihro kini adalah amplop yang waktu itu Irfan tujukan untuk Fifah. Dan benar saja! Tulisan Teruntuk Fifah di bagian depan amplop itu masih tertera jelas tanpa pengubahan makna pada tulisannya.

Terlambat. Waktu itu Irfan sudah pergi.

Berhari-hari lamanya ia lalui berusaha menahan diri tuk tidak membuka amplop tanpa perekat itu. Niatnya ia akan berikan langsung kepada Irfan begitu orangnya datang kemari. Namun, bukankah itu sangat lama?
Sayangnya, keteguhan Zihro gagal! Keingin tahuannya kelewat batas. Ia telah membukanya sehingga tidak ada rasa penasaran lagi sebab isinya hanyalah dua kalimat pertanyaan dan satu pernyataan.

"Heh! Receh sekali," pikir Zihro, "apakah seorang Irfan tidak berani menanyakan hal ini secara langsung?"

Zihro kembali melipat kertas itu yang dimasukannya ke dalam amplop. Lantas ketika ia bangun dari duduknya, ia simpan kembali surat itu di dalam lemari.

***

Fifah mengintip dari balik tembok kamar. Meski sebelumnya sudah pernah bertemu Citra, kali ini begitu wanita itu datang kembali ke rumah, entah kenapa gugup dan grogi kembali menyergap. Seperti biasa, calon Ibu mertuanya itu datang bersama sopirnya. Aah! Kenapa tidak pernah sekalipun datang dengan suaminya? Fifah sama sekali belum pernah bertemu Ayah Irfan. Apa laki-laki itu memang sosok yang amat sibuk?

Tau ah! yang Fifah rasa saat ini ia betul-betul takut! Sekarang ia sudah terbebas dari masa pendidikannya 12 tahun. Benar-benar bebas dan tinggal menunggu waktu perpisahan sekolah beserta ijazah sekolahnya keluar.
Namun, teringat beberapa bulan lalu Irfan berjanji akan kembali, mungkinkah sebentar lagi? Mungkinkah laki-laki menyebalkan di mata Fifah itu akan memenuhi janjinya? Semoga tidak ... semoga tidak. Semoga laki-laki itu telah menemukan perempuan lain selain aku. Batin Fifah berkata demikian. Ia benar-benar tidak mau keluar kamar.

Semua hal yang telah lalu seolah datang hanya untuk menghantuinya, ikut serta membuatnya semakin merasakan takut.

Bahkan omelan Rio beberapa minggu lalu yang sudah Fifah anggap tidak pernah terjadi pun masih terngiang jelas di ingatannya. Seperti terasa baru kemarin namun sejatinya sudah cukup lama jika dihitung dengan jari.

"Bisa nggak, sih, kamu hargai Rina sedikit? Dia itu bukan hantu!" omel Rio.

Fifah merinding. Tidak mau mendebat lagi, ia pun pergi dengan perasaan setengah hancur. Ya, sampai saat ini entah kenapa ia belum bisa menerima Rina sebagai saudara ipar sepupunya yang kini seatap dengannya.

Sungguh tidak ada lagi alasan untuk menyangkal semuanya!

Kini, di kamar. Gadis itu tengah menangis di pelukan Ayahnya. Mama Rio berusaha menenangkan seraya meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Toh Rina dan Rio yang sudah tiga bulan lalu menikah juga semuanya tampak baik-baik saja?

"Tapi Fifah masih punya mimpi, Ayah! Fifah mau kuliah, Fifah mau kerja. Fifah belum balas semua kebaikan Ayah," rengeknya.

"Iya, Sayang. Ayah paham. Tapi kita tidak boleh melanggar janji yang telah dibuat, Nak. Dosa ...."

Fifah kembali menangis. Rina, yang kini berdiri di ambang pintu kamar sepupu suaminya itu menatap dengan penuh prihatin. Teringat pada hari-hari menjelang pernikahannya dengan Rio, ia merasa bahagia. Berbeda dengan Fifah yang kini malah menolak mentah-mentah tanpa dicerna lebih dulu bagaimana baiknya. Ingin rasanya ia turut menasihati. Namun, tidak enak hati. Sepertinya ... dua orang dewasa itu sudah cukup. Sementara Mama Rio tampak kembali berusaha membujuknya pelan-pelan.

"Coba kamu lihat Rina. Dia tidak apa-apa, Fifah." Mama Rio membelai lembut rambut gadis itu. "Kalau kamu sudah menikah dan kangen sama kita, kamu tetap boleh ke sini. Iya kan, Rina?"

Rina mengangguk.

"Tapi, aku nggak mau, Lik. Aku nggak mau nikah!" akhirnya ... keluar juga kata 'tidak mau menikah' dari bibir Fifah.

Tampak Ayah dan Mama Rio saling pandang. Kemudian mereka menghela napas seolah kakak beradik itu kembali berusaha meyakinkan putri kakaknya demi memenuhi janjinya. Janji dengan manusia, janji juga dengan Allah.

"Kamu ingat, Nak? Allah tidak suka dengan orang yang melanggar janji," tukas Ayah yang justru malah membuat Fifah semakin terisak.

Sungguh demi apapun Fifah malah merasa Ayah tidak keberatan melepas dirinya. Namun sebenarnya, tanpa Fifah ketahui, di lubuk hati terdalam Ayahnya merasa berat melepas putrinya.

"Kalaupun dengan berat hati kita sebagai hamba-Nya harus memenuhi janji itu, Ayah rasa memang lebih baik begitu daripada kita mendapat ganjaran di neraka karena melanggar janji. Insyaa Allah, Allah akan memberikan yang terbaik buat kita, Nak. Kamu ingat, kan, yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah. Tapi, kalau sudah baik menurut Allah, sudah tentu baik bagi kita," ucap Ayah.

"Lagian kan nikahnya bukan hari ini, Fah. Mamanya Irfan cuma kangen sama kamu, kok," celetuk Mama Rio.

Fifah terbelalak. Perlahan ia melepas pelukannya dari ayah, kemudian menghapus air mata berikut ingusnya yang meler sejak tadi. Kalau gitu, dari tadi ngapain dia nangis-nangis? Ditonton Rina pula! Memalukan!

Aah, tapi ... tetap saja ia akan menikah, bukan? Intinya Fifah tidak mau. Bagaimanapun juga, tidak mau!

***
11 Februari 2019
💜

Assalamu'alaikum ....

Ada yang rindu dengan kelanjutan partnya?
😅

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuWhere stories live. Discover now