DCKD 37

8K 372 23
                                    

Sejauh apapun kamu berlari, saya akan terus meminta pada Tuhan semoga suatu hari nanti langkahmu berbalik ke sini.
Tempat hatimu berpulang.
____
Selamat membaca

____


Dua pasang netra milik sepasang insan saling bertemu, mengabaikan angin yang terus menerpa hingga tak kuasa salah satunya kembali menitikan air mata. Irfan merengkuhnya, mengusap pelan punggung kepala istrinya sembari ia ciumi bau wangi shampo yang menembus pori-pori jilbab.

Aah entah kenapa dadanya terasa nyeri melihat Fifah sebegitu menanggung sedih.

"Saya bener-bener minta maaf. Kamu tidak perlu sedih begitu,"

Lagi-lagi getar di dalam dada Irfan begitu terasa. Fifah menarik tubuhnya, menjaga jarak dari Irfan. Ia menghapus kasar air matanya kemudian memukul pelan lengan suaminya.

"Modus!"

Irfan terkekeh, sedikit lega. Kalau sudah ada suara walaupun hanya sekata, bisa dipastikan lawan bicaranya ini kondisi moodnya mulai membaik.

"Jadi, kamu udah mulai cinta sama saya?" godanya.

Fifah diam. Dengan sedikit menundukan kepala, ekor matanya menangkap deretan gigi rapi suaminya. Wajahnya terasa mulai menghangat dan sepertinya rona merah di kedua pipi tidak bisa disembunyikan, lagi.

Separuh hatinya menyesal sebab dadanya terus bergetar, separuhnya lagi ia khawatirkan pada Nisa. Ya, bagaimana kalau Nisa tau? Sungguh demi apapun Fifah tidak ingin terjadi perpecahan.

Meski Allah telah berikan sahabat untuk sepanjang hidupnya, toh bukan berarti ia melupakan sahabat lamanya.

Tau Fifah sudah menikah sahabatnya tidak dikabari saja sudah dipastikan Nisa akan marah besar. Jangankan kalau tau bahwa yang telah menjadi suami sahabatnya adalah sosok yang Nisa perjuangkan dalam doa.

Tuhan, aku bisa apa?

"Kalau diam, tandanya iya!" seru Irfan berhasil membuat Fifah menoleh.

"Nggak!" Fifah kembali membuang muka. Membiarkan hembusan angin menerpa jilbabnya, berkibar laksana cadar wanita sholeha. Terkadang pipinya bersemu merah dengan senyuman yang terus disembunyikan.

Cantik sekali. Pikir Irfan dalam hati.

Lelaki itu tersenyum, menikmati setiap rasa yang menelisik. Menikmati tiap debar di dada meski berisik. Maha suci Allah yang telah menghadirkan bidadari secantik Fifah, menjadi milik dia seutuhnya.

Tak lama berselang senyumnya memudar. Ingatannya berkata tentang luka dari tatapan si pemilik sepasang bulu mata lentik, tadi pagi. Antara Rio dan Fifah, ada apa?

Kenapa sulit sekali dimengerti? Ia benar-benar tidak mengerti jalan pikiran wanita. Terutama istrinya. Usia pernikahan yang masih seumur jagung belum membuat keduanya saling mengenal lebih jauh. Tetapi, Irfan ingin berusaha memahami dan mencintai istrinya sebab ia telah ditakdirkan untuk menjadi Imam. Imam bagi keluarga kecilnya dalam menapaki bahtera rumah tangga.

"Kamu ada masalah?"

Fifah masih diam. Irfan menghela napas.

Sejujurnya ia ingin bertanya soal apa yang dilihatnya. Ia ingin kejujuranlah yang terbangun di antara keduanya. Ia ingin meneladani rumah tangga Rasulullah SAW. Ia ingin rumah tangga mereka bertahan hingga tiba saatnya Tuhan yang memisahkan. Tetapi, Irfan urung. Ia tahu bidadarinya sedang tidak baik-baik saja.

Hingga munculah sebuah ide di pikiran Irfan untuk mengajaknya jalan-jalan mengitari wisata sekitar. Sayang kan, kalau tidak jalan-jalan. Areanya memang begitu sejuk sebab ditumbuhi pepohonan hijau menjulang tinggi yang memanjakan mata. Terlebih pesona gadis yang kini berjalan selangkah di depannya. Diam-diam, Irfan memetik tangkai bunga yang dipilin dan digabungkan antara ujung-ujungnya sehingga membentuk lingkaran sebesar jari.

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuWhere stories live. Discover now