DCKD 02

14.7K 601 10
                                    


Kepada sahabat-sahabatnya Rio pernah berkata, "Sumpah! Gue seneng banget bro! Ternyata Fifah jadi adek kelas Rina. Itu berarti ... makin mudah buat gue ketemu Rina. Hahaha, kan gue bisa alesan ke orang rumah kalo Rina sering maen ke rumah itu pertanda dia ada tugas sekolah bareng Fifah!"

"Ya elah Yoo! Lu modus amat yak? Lu kira keluarga lu bocah TK? Jelas tau lah pelajaran antara kakak kelas ama adek kelasnya beda! Apa lagi Fifah! Kan lu pernah bilang, ntu cewek jago banget otaknya. Mana sering dapet rengking satu lagi!" Sahut Andri.

"Perkara gampang itu mah! Nggak usah kasih tau orang rumah kalo Rina itu sebenernya kakak kelasnya Fifah! Kan gue untung banyak! Hahaha."

Sontak mereka yang ada di sana geleng-geleng kepala. Namun, entahlah. Rio yang sudah paham betul akan sifat Fifah merasakan kejanggalan. Ya, akhir-akhir ini Fifah lebih sering mengurung diri kalau Rina datang. Tidak tanggung-tanggung, bahkan terkadang sampai rela tidak mandi! Sejauh yang Rio tahu, Fifah tidak akan berinteraksi kepada orang yang tidak disukainya! Tapi ... Rio benar-benar bingung.

Tanpa sepengetahuan Rio, Fifah ingin meredam rasa sakit hatinya. Jadi, menghindar dari tatapan Rio adalah salah satunya. Bahkan ketika ia tidak biasa mengantar adiknya berangkat madrasah, Fifah jadi begitu antusias untuk mengantarnya. Demi menjauh dari Rio.

Sungguh Fifah bersyukur bisa tinggal di daerah sejuk. Tempatnya asri dan belum banyak bangunan selain rumah dan warung kecil. Ia pikir hal ini akan sedikit mengurangi sakit hatinya, sebab ia bisa tersenyum seraya mengucap tasbih akan ciptaan-ciptaan Tuhan. Apa lagi ketika melewati gang pesantren di desanya. Baru lewat di depan gangnya saja nuansa sejuk menguasai daerah pesantren. Fifah kembali tersenyum. Ia jadi kepincut untuk menjadi santriwati. Tapi bukan di pondok pesantren desanya. Karena pondok pesantren yang ada di desanya itu khusus untuk santri laki-laki saja.

"Mbak, aku mau lewat sini aja," kata seorang gadis berseragam putih biru yang dikenal sebagai adik Fifah.
Langkahnya hendak berbelok ke gang pesantren.

"Loh, loh? Kok lewat situ? Lewat sini aja, kan lebih deket!"

"Haah kalo lewat situ mah nggak ada yang ganteng-ganteng, beda sama di sini. Ganteng-ganteng semua mbak! Masyaa allah ... bener-bener pangeran syurga." Seloroh Viska, teman adiknya Fifah.

"Hust! Anak kecil udah ngayal begituan! Udah lewat sini aja!"

"Nggak mau! Pokoknya kita tetep mau lewat depan pesantren! Ya kan, Vis?" Adik Fifah meminta persetujuan kepada kawannya, Viska, yang dibalas dengan anggukkan mantap.

Tekad mereka benar-benar bulat. Jadi apalah daya Fifah yang hanya bisa mengekor dari belakang dua bocah kecil di depannya yang dengan pede-nya berjalan mendekati area pesantren.
Fifah memang tau jalan terobosan yang akan menghubungkan mereka dengan madrasah tempat adiknya ngaji. Karena dulu, semasa Fifah kecil, ia juga pernah lewat area pesantren. Namun ia lewat hanya sekadar lewat karena ikut-ikutan temannya yang ingin cari perhatian kepada santri-santri. Toh, kalau Fifah tidak ikut-ikutan, mana tau jalan terobosan ada di sana?

Jantung Fifah mulai berdetak tidak karuan. Apa lagi saat memasuki kawasan pesantren yang notabenenya laki-laki. Dalam hati, Fifah merutuk diri. "Bocil-bocil kurang ajaaarr!! Coba aja tadi aku nggak ikut mereka lewat sini! Pasti nggak akan semalu ini rasanyaaaa!!"

Fifah terus melangkahkan kaki seraya menundukkan pandangan ke arah jalanan beraspal.

Langkahnya terhenti begitu menyadari ada sekeping lima ratusan di tanah. Fifah mengambilnya, berniat memasukkannya ke kotak amal ketika ia sudah sampai madrasah. Naas yang tak disangka, ketika ia akan kembali pada posisinya yang semula yaitu berdiri, seseorang menubruknya. Jatuhlah ia. Beberapa buku yang Fifah ketahui bahwa itu kitab berserakan di aspal.

"Duuhh! Maaf! Maaf!" tergegesa-gesa Fifah memunguti kitab-kitab itu yang kemudian disusunnya satu persatu. Begitu pula sosok bersarung dan berpeci di hadapan Fifah. Ia melakukan hal yang sama dengan Fifah hingga pada akhirnya tangan mereka tak sengaja bersentuhan.

"Astaghfirullahal'adziim ... Sudah! Biar saya aja!" Tukas lelaki di hadapan Fifah mengambil alih semua kitab-kitabnya.

Deg! Fifah agak tersinggung dengan ucapan lelaki itu.
Alih-alih emosinya sedang tidak stabil karena sakit hatinya pada Rio, jadilah lelaki di hadapan Fifah itu menjadi sasarannya.

"Kamu tuh ya! Udah jalan nggak liat-liat, nabrak orang, dibantu malah marahin orang! Harusnya kamu minta maaf! Bukan berbicara seperti itu!"

Beberapa santri yang semula hilir mudik di sekitaran mereka, kini berubah menjadi kerumunan yang menyesakkan jalan karena penasaran dengan masalah yang terjadi. Apa lagi bersangkutan dengan akhwat.
Viska dan adik Fifah yang sudah jauh beberapa langkah di depan Fifah pun segera balik badan, menghampiri kerumunan tersebut.

Mereka ternganga menyaksikan Fifah berhadapan dengan santri bernama Irfan. Ya, santri tampan yang banyak dielu-elukan oleh gadis desa namun Fifah tidak mengetahuinya. Sering kali ketika Viska lewat dengan adik Fifah dan berpapasan dengan Irfan yang mengendarai vespa, begitu Irfan berlalu, kedua gadis cilik itu bersorak, "Oh my god!! Ganteng bangeeeeetttt!!! Aaaaa ...."

Viska dan adik Fifah saling melempar tatapan bahagia karena perasaan mereka serasa meleleh.
"Aku rela nikah muda asalkan nikahnya sama Kang Irfan," ujar Viska suatu hari.

Adik Fifah mengerutkan kening, "Loh? Bukannya Kang Irfan itu punya aku, Vis? Kamu kan ngefansnya sama santri yang berkaca mata bulat yang waktu itu datang ke rumah buat nawarin kalender ...."

"Iih aku udah nggak suka sama yang itu! Masak dia punya jenggot? Ilfiil tau!! Kayak aki-aki!"

"Jenggot? Kata siapa dia punya jenggot? Aku nggak liat dia jenggotan, tuh." Sangkal adik Fifah.

Viska menarik napas dalam-dalam lalu dibuangnya dengan hembusan kasar. "Fida, kamu itu nggak liat apa yang aku liat! Orang aku ngeliat sendiri dengan mata kepalaku! Aku yakin aku liat tiga helai rambut sepanjang jari kelingking di dagunya!"

Dahi Fida kian mengekerut. Kini, mereka sadar dengan kejadian yang disuguhkan Tuhan di depan mata. Fifah terus melempari Irfan dengan kata-kata yang mengandung emosi meski sudah dinasihati berulang kali oleh santri lain.

"Sabar, ukhty ... Sabar ... Kita bisa selesaikan masalah ini dengan cara damai." Suara lembut milik lelaki berkaca mata bulat menyentakkan Fifah.

"Diam kamu! Jangan ikut campur urusan orang!" gertak Fifah. Sementara yang digertak langsung ciut nyalinya.

Kerumunan yang tak kunjung usai itu ternyata menarik perhatian Kyai. Beliau pikir masalah itu masalah perkelahian antara laki-laki dengan laki-laki. Namun, kali ini Pak kyai dikejutkan dengan seorang akhwat. Yaitu Fifah. Fifah dan Irfan pun di bawa ke ndalem guna menjelaskan sejelas-jelasnya masalah yang terjadi. Mereka didudukkan di sebuah kursi yang terjeda satu meja sehingga posisinya saling berhadapan. Namun Irfan dan Fifah saling menundukkan pandangan.

"M-maafkan saya Romo kyai," ucap Irfan terbata, masih menundukkan kepalanya.

Meski Fifah sama halnya Irfan, yaitu masih menundukkan kepalanya, sedikit-sedikit ia melirik Irfan lalu berkata, "Saya juga, kyai,"

Hening sejenak sebelum pada akhirnya Pak kyai menghela napas berat.

***

23 Desember 2018

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Thanks for reading.
💜

Jika berkenan, jangan lupa tinggalkan jejak yaa.

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuWhere stories live. Discover now