"Gue lebih seneng lo kayak tadi kok, lucu elah, santai aja,"

"Kata lo serem, konsisten kalo ngomong,"

"Lucuuu, enggak serem,"

"Oh. Yaudah gue mau pergi,"

Aku melepaskan cekatanku pada Gaffriel seraya mengangguk, "Makasih Gaffriel!"

Dia pergi meninggalkan area kampusku dan meninggalkanku berjalan ke arah kantin untuk menunggu kelas berikutnya.

Jam menunjukan pukul 18.20 dimana kelas ke-4 ku selesai. Ponselku berdering tertara nama Arden yang segera ku angkat. "Anna lo udah pulang? Gue lagi daerah Jakarta kebetulan,"

"Hah? Enggak usah, Den, gue ada urusan,"

"Gapapa gue anterin, udah malam juga kan,"

"Gue udah ada janji sama orang, Den sori,"

"Ooh, yaudah besok libur bisa gantiin hutang lo?"

Aku mengernyit mencoba menggali ingatanku, "Pasti lupa, nih," Katanya setelah jeda lumayan lama.

"Gue sempet minta lo beliin barang dadakan emang?"

Dia tertawa di sana membuatku semakin heran. "Lo hutang temenin gue ngeskripsi, Anna,"

Aku menepuk keningku cepat, tak lama bola mataku mendapatkan mobil Kak Ben berhenti di depanku. Aku segera masuk mobil Kak Ben memberi senyum sapaaan, tanganku masih memegang ponsel menerima telpon Arden. "Aduuh, iyaa, maaf Den. Iya, besok bisa kok gue mau nugas juga, barengan aja. Lo bisa jam berapa?"

"Jam dua belasan?"

"Hutang lunas!"

Arden tertawa di seberang sana membuat bibirku ikut tertarik melengkung ke atas, "Oke deh, kalo ngutang lagi gue tagihin di depan apartemen lo," Ujarnya di akhiri tawa kecil. "Iyaa, gan, tenang aja nggak pernah sampe nunggak kok," Candaku.

Terdengar tawa kecil disana, "Yaudah, gue tutup ya? Istirahat jangan pulang lama-lama lo, entar ketemu penagih hutang berabe." Ujarnya masih diikuti canda kecil.

"Iyaa, Arden. Yaudah, dadah!"

Aku mematikan sambungan lalu menoleh Kak Ben yang masih belum menjalankan mobil dan menatapku dengan selidik. "Apa, sih?" Tanyaku risih walau di akhir aku tersenyum malu.

"Itu pala lo di tepok gitu makin jenong, bego. Terus, apa tuh senyum-senyum, siapa? Arden? Berpaling juga nih?" Ejeknya.

"Udah biarin aja jidat gue ini, terus juga jangan kepo nggak baik," Kataku mencoba menahan senyum. Kak Ben memukul kepalaku, "Awas aja jatuh cinta sama cowok selengean macem Cameron lagi lo,"

"Cameron tetap dihati, Kak. Udah deh, jalan nanti Ayah introgasi mampus lo, Kak,"

"Oh iye, lupa ane serem kalo bos marah. Nyusahin lu ah, mertua siapa jadi gue yang takut,"

"Gue kan adik lo, Bapak lo juga Ayah Angga tau,"

"Untung bapak asli gue baik,"

"ITU AYAH GUE, KAMBING!"

"Eh, eh iya, ndoro maaf, sih,"

✨✨✨

Mobil Kak Ben sudah pergi dari perkarangan rumah lamaku, dan sekarang aku tengah memeluk Bunda Lovita disana. Kami memakan makan malam bersama di iringi bagaimana kehidupanku seminggu ini. Selesai makan kami berkumpul di ruang tengah menonton acara TV bersama dengan canda tawa, tiap minggu aku berkunjung kerumah dan minggu depan nya aku ke rumah Mama Alma menginap juga disana. Lalu aku teringat akan mimpiku yang sudah setahun mengantui, aku menatap Bunda yang tengah tertawa dengan Ayahku.

Dan kembalilah sosok Anna yang menyedihkan, berandai masa menuaku seperti Bunda dan Ayah bersama Cameron. Sederhana dan bahagia. Aku menteskan air mata dan segeraku serka. "Ayah, Bunda, Anna masih mimpi soal Cam,"

Mereka mengalihkan tatapan padaku dalam tangis, Bunda menarikku dalam dekapan mencoba menenangkanku. "Sudah, Anna kata dokter itu wajar karena kamu di fase mencoba melupakan masa lalu, pasti ada aja kenangan yang hantuin kamu,"

"Bunda ... Anna mau Cameron ... " Isakku.

"Heh, gak boleh gitu Cam nggak tenang nanti,"

PLAKK!!

"ADUH!" Jeritku.

"Ayah!"

Ayah menatapku disana, "Kamu masih muda, cantik kok ngarepin orang yang udah nggak ada. Nggak boleh begitu, harus lanjutin hidup kamu, Na. Deketin cowok kek kamu, jangan galak,"

Ayah tidak tau saja tentang Arden, eh? Memangnya Arden berniat bersamaku?

"Ayah mah! Sakit tauuu,"

Ayah memelukku layaknya boneka besar dan mengecup keningku, "Anak Ayah nggak boleh sedih-sedih terus, Anna berhak bahagia, kamu nggak boleh sedih terus. Dokter bilang apa? Jalanin hidup kamu karena kamu berjalan bukan ke masa lalu, tapi masa depan dan semua udah di rencanain Tuhan anggap aja semua yang terjadi di masa lalu jadi sebuah pelajaran, di masa depan kamu bisa lebih dewasa lagi dan perbaiki lagi," Kata Ayah mencoba menasehatiku kembali.

"Sayang Ayah ... sehat-sehat, ya, Yah,"

✨✨✨

bagaimana chapter kali ini?

Metanoia Where stories live. Discover now