38

1.5K 206 1
                                    

Nggak ada yang mengalahkan sensasi menyantap hidangan ati ampela ungkep, sambal terasi dan nasi hangat setelah perjalanan jauh. Mood-ku jadi sedikit mendingan. Meskipun, yaaa.. masih kacau juga.

Ketika aku sampai di rumah, hanya ada Ibu. Ayah belum pulang, sementara Pandu sedang futsal bersama teman-teman sekolahnya.

"Dadakan banget pulangnya? Tumbenan juga pake mobil,"

Aku masih keenakan dengan hidanganku. "Nggak pa-pa, udah firasat aja hari ini Ibu masak ati-ampela, makanya aku pulang he he,"

Ketika aku kembali dari dapur setelah mencuci piring makanku, Ayah sudah duduk di meja makan sembari melonggarkan dasinya. Ibu di sebelahnya sedang mengambilkan beberapa sendok nasi ke piring Ayah.

"Lho? Pulang, nduk?" Sapa Ayah ketika aku menyalami beliau.

"Iya, tiba-tiba homesick aja." Aku beralasan.

Ayah tampak bergeming. "Kenapa? Ada cerita dari seleksi SM kemarin, ya?"

Heuh. Not that fast juga sih, Yah. Tanyain tadi perjalananku gimana dulu kek. Macet atau engga. Jogja sepi atau ramai pas aku kesini. Topik langsung dilempar ke yang paling utama.

Potongan ati ampela di dalam perutku juga belum semuanya diproses. Jangan sampai aku memuntahkan isi perutku karena grogi nggak ketulungan ini.

Tapi, pada akhirnya aku mengangguk. "Tita nggak lolos, Yah,"

Ayah tertawa renyah, kemudian menyeruput teh hangatnya. "Buat pengalaman, nduk. Besok-besok 'kan masih ada."

Mendengar kalimat "besok-besok 'kan masih ada" seketika membuatku bergedik.

Aku hampir pamit undur diri karena mendadak lemas di kedua kaki, tapi mengingat kekuatan yang diberikan bu El sore tadi membuat dadaku menghangat.

"Ayah,"

"Hm?" Beliau sibuk mencampurkan nasinya dengan sambal terasi pedas andalan Ibu.

Kalau aku berani memulai, seharusnya aku tidak takut untuk mengakhiri sih.

"Tahun ini Tita nggak pingin ngelanjutin kontraknya lagi." Kataku datar.

Ayah menghentikan semua aktivitasnya saat itu juga. Begitu pula Ibu. "Maksud kamu?"

Aku menghela nafas dalam-dalam. "Tita mau keluar."

Mata Ayah sedikit terbelalak. Dahinya berkerut tajam. "Kamu sudah pikirkan apa keuntungan dan kerugianmu kalau kamu benar-benar keluar?"

Aku mengangguk pelan.

"Jangan main-main kamu, Sarasyita!" tegur Ayah. "Kamu sudah pikirkan matang-matang keputusan tidak masuk akalmu itu?"

Aku nyaris ngacir ke kamar dan ingin menarik semua kata-kataku barusan. Bahkan kalau keputusan ini masuk akal di aku, tidak akan pernah bisa masuk akal untuk Ayah dan Ibu. Lagi, aku mengangguk.

Ayah mendorong pelan piring yang ada di hadapannya. Beralih menghadapku. "Kenapa?"

Aku menelan ludah. "Ayah bilang Tita harus coba hal ini. Lima tahun ini Tita udah coba. Dan sekarang Tita mau coba yang lain,"

"Kamu pikir pekerjaan ini main-main, Ta? Menurutmu itu hanya untuk kamu jadikan sebagai percobaan?"

"Life is about trial and error, I think." Aku masih berdiri tegak. Meskipun Ibu sudah menyuruhku duduk untuk membicarakan ini semua dengan baik-baik.

Ayah tersenyum getir. "Tahu apa kamu tentang kehidupan? Perjalan kamu itu masih panjang,"

Aku mencoba tetap tenang. "Tita nggak akan pernah tahu tentang kehidupan kalau yang Tita lakukan hanya mengikuti apa kata Ayah. Cara Tita dan Ayah menjalani hidup sudah pasti berbeda."

Almost Home (Complete)Where stories live. Discover now