21

1.4K 201 5
                                    

Mengingat kata tante Ida bahwa hal yang dapat menyembuhkan patah hati adalah waktu atau orang baru, momen ini akhirnya datang juga; momen dimana aku dan Dovan akan bertemu.

Nouri mengatakan bahwa jangan terus-terusan jadi pengecut. Kalau semua hal terpendam ini menjadikanku better tidak masalah, nyatanya hal-hal yang belum tuntas ini menjadikanku messier kalau menurutnya.

So here I am. Sedang duduk di sebuah cafe yang buka 24 jam di sekitaran mall ini, dan menunggu Dovan yang katanya akan tiba beberapa menit lagi. Alasan kenapa aku tidak mau menunggu sampai besok pagi agar suasana lebih kondusif; adalah aku tidak ingin membuang-buang waktuku lebih lama lagi dengannya. Begitu-seperti biasa-dia menanyai kabarku setiap hari, mood menghadapi dan menerjang masalahku muncul tiba-tiba setelah hendak pulang ngantor ini.

Arlojiku sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Selesai 'ngewarung' aku nggak langsung menghubungi Salma seperti biasa untuk barengan pulangnya karena yah, lebih baik aku order Go-Jek saja supaya kalau acara ketemuan ini kemalaman, Salma jadi tidak perlu repot-repot menjemputku.

Di luar dugaan, kupu-kupu dalam perut atau rasa kebas sekujur tubuh itu nggak muncul lagi. Rasa muakku terhadap Dovan seolah pudar. Diganti dengan rasa penasaranku terhadap bentukan Dovan sekarang. Lebih baik kah dia setelah perpisahan kami?

Ada yang pernah mengatakan; puncak titik balik atau move on seseorang bisa dikatakan berhasil kalau kita sudah bisa menertawakan masa lalu kita. Dan aku penasaran, tetap pilukah aku melihat Dovan nanti? Atau aku akan tersenyum lebar dan nyaris tertawa karena menyadari bahwa Dovan sudah bukan pengaruh untukku lagi.

Nggak lama aku membatin karena gigitan nyamuk di cafe ini benar-benar ganas, Dovan datang dengan setelan kemeja abu-abu dan celana jeans panjang. Aku hanya memperhatikannya dari kejauhan, nggak ada niat melambai untuk memberitahukan posisiku karena, yaudah, pasti dia kesini mencariku.

"Tita," tegurnya, hampir menghambur untuk memelukku.

"Pesan minum dulu," ujarku sambil sedikit memberi jarak di antara kami, menolak pelukan singkatnya.

Dovan menurut, dan permisi untuk memesan minuman. Sesaat kemudian, dia kembali dengan membawa segelas milkshake dingin berwarna merah.

Setelah cowok ini duduk tepat di hadapanku, aku memilih diam.

"Kamu apa kab-"

"Langsung aja," potongku.

Dovan kelihatan terhenyak. "Kamu masih belum maafin aku ya, Ta?"

Sialan. Masih nanya. Untung aku sudah memaafkannya jauh-jauh hari. "Aku udah ikhlas,"

"Segampang itu?" nada bicaranya tidak percaya.

"Kalau kamu dengan gampangnya selingkuh, kenapa aku harus sulit mengikhlaskan kamu?" tembakku.

Dovan kelihatan tertegun.

Mantanku ini masih seperti Dovan sebelumnya. Hanya saja lebih kelihatan kurus, dan-berantakan? Entah, dia kesini mandi atau nggak. Rambutnya sedikit gondrong di bagian dekat telinga, meninggalkan sisa-sisa rambut yang mencuat di puncak kepalanya. Cowok ini...kacau sekali.

"You're such an asshole, Van. Tapi yaudah, mau gimana lagi. Itu pilihanmu 'kan? Dan sekarang aku juga ada di pilihanku; memulai semuanya dari awal lagi, tanpa kamu."

"Aku khilaf, Ta,"

Aku tertawa hambar. "Semisal malam ini kita balikan, aku pulang dijemput seorang cowok dan malam itu juga aku bercinta sama dia. Aku khilaf, Van, forgive me?"

Dovan diam.

"Bahkan kamu yang melakukan kebodohan itu sendiri pun nggak akan terima kalau kejadian itu menimpa kamu,"

Almost Home (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang