12

1.7K 211 6
                                    

Selasa pagi yang benar-benar menyenangkan. Nggak tahu kenapa, bangun tidur langsung segar aja, padahal aku tidur nggak ada lima jam. Ditambah hari ini libur pula.

Selesai solat subuh, tumbenan banget aku udah keluar kamar dan menemukan tante Ida sudah mengacak-acak dapur untuk membuatkan seluruh anggota keluarga sarapan. Karena nggak tahu mau ngapain juga sepagi ini, aku nimbrung dengan adik Ayah-ku itu.

"Lah, Ta? Tumben jam segini nyamperin dapur," sapa tante Ida begitu aku sebelahi.

"Biasa, mau ngerepotin tante, nih, hehe. Ada yang bisa dibantu nggak, tan?"

Mata beliau menyapu sekeliling dapur, mencari-cari hal yang bisa aku kerjakan.

"Potongin sosis aja deh, Ta, tolong. Tante mau buat cap cay nih," pintanya sambil menunjuk dengan dagu beberapa buah sosis di meja, sementara tangannya masih sibuk membersihkan wortel, brokoli, dan kembang kol.

Aku menurut, dan mulai mengkuliti sosis-sosis tadi untuk kemudian aku potong-potong pipih.

Sesaat kemudian, tante Ida berdeham. "Semalam diantar siapa, Ta?"

Sosis yang sedang aku kuliti hampir saja loncat. "Hah?" responku terbata. "Teman, tan,"

"Cowok pasti," katanya.

Aku hanya diam. Ah, tante Ida kok masih bangun saja ya jam setengah satu dini hari.

"Motornya sangar juga, Ta, anti-mainstream sih kalo tante lihat," beliau berkomentar.

Aku sedikit terkekeh. Ya, kendaraan Nouri emang anti-mainstream sih kalo aku bandingkan dengan mas-mas kantoran zaman sekarang. Di saat mas-mas kantoran memakai city-car atau motor-motor gede, Nouri lebih memilih untuk mengendarai motor trail. Iya, yang biasanya buat atraksi-atraksi ekstrem naik-naik bebatuan gitu.

Sudah kubilang 'kan kalau Nouri itu kejutannya banyak.

Aku mah nanggepinnya santai-santai aja, otomatis pulangku semalam jadi nggak was-was amat karena mungkin saja kalau ada tukang begal, mereka lihat motornya Nouri udah jiper duluan.

"Teman sekantor, Ta?" tante Ida menyebelahiku, hendak memotong-motong sayuran yang sudah bersih di dalam keranjangnya.

"Engga, tan, di Worka dia," jawabku datar.

"Wih, Worka konstruksi itu? Yang di Jatingaleh itu kantornya?"

Aku mengangguk.

"Nggak kelihatan ya, tante kira anaknya brandal gitu," jelas tante Ida polos.

Lagi, aku nggak bisa menyembunyikan tawa geliku. "Kok brandal sih, tan,"

Beliau memotong dadu kentang yang ada di depannya. "Ya naiknya motor trail begitu," alasannya lucu. "Kamu nggak jantungan apa gimana, Ta, naik motor begituan,"

Tita mah jantungan bukan karena motornya, tante. Tita jantungannya sama yang ngeboncengin. Eh.

"Jadi, udah move on dari Ivan, nih," goda beliau. Tapi salah nama. Huft.

"Dovan kali, tan," protesku.

Kini giliran beliau yang terkekeh. "Hehehe, iya-iya si Dovan. Udah move on ceritanya?"

Glek.

Seandainya move on itu segampang ngomong. Seandainya dengan dapat gebetan baru langsung bisa move on. Seandainya move on semudah delete nomornya di kontak ponsel. Seandainya.

"Belum lah, tan. Orang yang antar juga cuma teman," aku ngeles.

"Tante percaya kok, yang antar semalam pasti ingin hubungan lebih dari teman," kata tante Ida ringan. "Mana ada cowok yang mau antar ke rumah tante yang pelosok gini," imbuhnya. "Rumah si Worka dimana?" tanyanya tiba-tiba.

Almost Home (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang