9

2K 257 16
                                    

Sepulangnya kami sarapan bersama dengan Nouri pagi tadi, cowok itu mengajakku untuk makan malam, karena dia merasa hambar jika sepanjang sore sampai larut malam nanti hanya keliling-keliling Yogyakarta sendirian.

Ajakannya tidak langsung aku jawab, tapi aku meminta kontak LINE-nya untuk mengabari nantinya aku bersedia atau tidak.

And here I am, setelah menggantung sebentar ajakkan Nouri dan mendapat dakwah singkat tapi keramat dari adik Pandu Syafida Rasjid. At last, aku mengiyakan ajakan Nouri.

Selepas magrib, aku berangkat dari rumah menuju hotel tante Maya menggunakan Honda City Silver milik Ibu. Aku tidak pernah minta untuk diberi mobil pribadi, mobil Ibu saja jarang dipakai soalnya Ibu lebih suka order Uber atau Grab-Car, malas nyetir katanya. Kalau pun bawa mobil sendiri, pasti bawa Harrier-nya Ayah yang jarang dipakai juga karena Ayah lebih sering luar kota dan menganggurkan mobilnya di rumah. Untuk kendaraanku sendiri, aku diberikan skuter matic Vespa Piaggio putih yang semenjak kuliah sudah riwa-riwi menemaniku kemana-mana. Malah sekarang, Vespa-ku lebih sering dipakai Pandu karena aku lebih banyak di Semarang, sementara motor cowok Pandu harus terima hanya dipanasi setiap pagi di garasi tanpa diajak kemana-mana.

"Kalo Vespa enteng, CBR ribet. Boros pula," kata Pandu beralasan waktu itu.

Sekitar pukul 18:43 mobilku sudah sampai di depan lobby hotel.

Dan entah sensasi darimana, tiba-tiba perutku melilit begitu melihat Nouri sudah berdiri di depan pintu lobby sambil membawa ranselnya yang kemarin.

"Baru datang, Ta?" sapanya begitu pintu mobil terbuka.

Aku balas dengan senyuman. "Iya,"

Setelah Nouri meletakkan ranselnya di bangku belakang, dia mematung. "Kamu atau aku?"

Maksudnya, aku atau dia yang setir mobil ini.

Aku nggak segera menjawab. Sedih juga sih, ini mobil 'kan manual. Tapi, gengsi juga. Ceritanya, aku 'kan yang jadi tour guide-nya, dan Nouri sebagai tamu istimewa untuk Yogyakarta, kok malah dia yang nyetir.

"Aku saja ya, Ta? Kasihan, ini manual," katanya ringan.

Why he always exactly knows what's on my mind. Aku cuma bisa nyengir, sambil mempersilakannya mengambil alih kemudi.

"Malam ini, kemana kita?" tanyanya setelah duduk di bangku kemudi. Tangannya sibuk memasangkan sabuk pengaman di sekitar tubuhnya.

"Makan 'kan?" tanyaku balik.

Nouri mendengus geli. "Iya, makan. Tapi, makan dimana?"

Aku mesem sedikit. "Kamu lagi pingin apa?" sumpah deh, rasanya canggung banget. Tanganku bahkan sampai sempat tidak kuasa untuk menarik tali sabuk pengaman dan memasangkannya ke pengail.

"Selain makanan mainstream Jogja," katanya sambil mengatur persneling. "Kamu suka pedas?" tanyanya.

"Lumayan,"

"Ada yang pedas-pedas khas Jogja?" Nouri membelokkan kemudi keluar area hotel. "Selain ayam geprek," imbuhnya sambil memasang ekspresi datar. Bukan, bukan yang kedengaran judes. Tapi, yang gimana, ya? Yang polos-polos ngademin.

Aku tergelak. "Lah, apa, ya, selain geprek?" aku bertanya-tanya sendiri. "Emang mainstream, sih. Terus apa dong? Gudeg level?" aku mengarang.

"Kemudian ada bakpia cabe?" Nouri menambahkan.

"Geplak setan?" aku nggak mau kalah.

"Cenil bumbu rujak?" lagi, Nouri masih menyahut.

Aku nggak kuat melanjutkan aksi konyol kami mengarang bebas nama makanan khas Yogyakarta yang dipedas-pedaskan. "Ayo, mana lagi yang pedas?" tantang Nouri yang membuatku semakin terkekeh.

Almost Home (Complete)Where stories live. Discover now