35

1.4K 216 1
                                    

Aku memang seharusnya nggak segegabah ini dalam mencerna pernyataan si bitchy Indira. Lagipula, kalau mereka sudah berakhir, apa urusan cewek itu. Yang menghantuiku adalah, kenapa Indira bisa tahu, kejadian yang Nouri dan aku alami ketika di konser, bahkan sedetail itu? Apakah Nouri cerita kepadanya? Atau bagaimana?

Kulineran di bandara berjalan lancar, meskipun aku lebih banyak diam dan makan. Nggak terlalu menanggapi Nouri bicara. Pernyataan Indira tadi, serius, seperti peluru yang bersarang di otakku.

Bicara tentang Nouri menyadari perubahan sikapku atau tidak, jelas dia menyadarinya. Karena dia pun jadi lebih banyak diam. Dia nggak lagi mengajakku ngobrol lebih banyak. Sepertinya dia tahu suasana hatiku sedang kurang baik. Argh. Lebih tepatnya buruk. Sangat buruk. Meskipun dia juga tidak tahu kenapa suasana hatiku jadi seperti ini.

Speaker pesawat mengumandangkan pemberitahuan bahwa kami akan landing sekitar 10 menit lagi. Di saat Nouri bersiap-siap merapikan earphone-nya; senjata yang dia gunakan untuk mengimbangi perubahan sikapku, aku masih sibuk menata pikiran. Baik kah kalau aku tanyakan hal tadi kepada Nouri?

Pundakku tiba-tiba ditepuk. Aku menoleh. Nouri dengan wajah datarnya langsung menyandarkan kepalanya ke pundakku. Argh. Apalagi ini, ya Tuhan.

"Mau cerita?" tanyanya.

Heuf. Harus kah ku tanyakan?

Aku masih diam.

Dia mengusap-usap pelan lenganku. Sejak kapan sih aku dan Nouri jadi doyan skin-ship gini. Ah, jangan lupakan tragedi ciuman penuh misteri pada konser kemarin, Sarasyita. Itu lah asal mula hal-hal membahagiakan, sekaligus membingungkan.

"Ri..." aku tidak tahan juga.

"Hm?" Kepalanya masih tetap di posisi semula. Aku bisa mencium aroma lembut puncak kepalanya.

"Soal kamu dan Indira..."

"Iya,"

Tenggorokanku mendadak kering. "Kalian...pacaran berapa lama?"

Hening sebentar. Aku merasakan Nouri menghela nafas panjang.

"Lancang banget ya, kedengarannya?"

"Nggak."

"Kalau nggak mau jawab juga nggak pa-pa sih," aku baru nyerang dikit, udah milih ngalah aja. Seharusnya aku tidak boleh egois. Bukan cuma aku saja yang kurang nyaman, sebenarnya Nouri juga.

"Kenapa tiba-tiba tanya gitu?"

What. Apakah tiba-tiba, sementara kami dan Indira ketemu baru sekitar empat jam yang lalu lho. "Nggak boleh?"

Nouri kembali bangkit ke posisinya. "Wow, wow, nada bicara apa itu, Sarasyita?" Dia menatapku heran. "Is there anything I need to know?"

Aku memilih diam. Tinggal jawab doang, apa susahnya sih?

"Kamu tadi sempat ngobrol ya sama Indira? Ngobrol apa?" Nouri justru mengalihkan pembicaraan.

Giliran aku yang menghela nafas. "Kalau nggak mau jelasin, nggak pa-pa, Nouri."

Nouri tampak bergeming. Apakah hubungannya dengan Indira semengesankan itu sampai menjawab pertanyaanku saja jadi susahnya minta ampun?

"Kalau aku jawab," perkataan Nouri terhenti sebentar oleh speaker pesawat. Kami sudah landing. "Apa penjelasanku bisa bikin kamu nggak marah?"

What the heck. Teka-teki macam apa lagi ini, Nouri? Aku nggak ingin percaya sama pernyataan Indira. Tapi, melihat responnya ini, haruskah aku jadi nggak percaya sama Nouri aja?

"Hm?" Nouri menatap mataku dalam-dalam. Aku bisa merasakan semua aktivitas disini seperti berhenti. Sementara pada nyatanya, semua penumpang sedang beberes untuk turun.

"Jadi, bener apa yang dibilang Indira?" Aku mulai habis kesabaran. Aku kadang bisa terima dengan sikap bertele-tele Nouri, tapi kali ini, I think I'm done.

"Apanya yang benar, Tita? Sementara kamu nggak memberi tahu kalian tadi ngobrol apa?"

"Udah, udah. Kalau nggak mau jawab, nggak pa-pa."

Di luar dugaan, Nouri justru terkekeh.

Really? Di situasi seperti ini, dia masih anggap obrolan ini sebuah candaan?

"Pertanyaanmu itu, nggak bisa dijawab sebelum kamu jawab pertanyaanku."

"Is this a joke?" Aku sudah nggak tahan. "Ri, kamu pikir, aku ini candaan, atau gimana?" Tembakku langsung. Kapan-kapan Nouri harus diospek cara bicara to the point dan nggak bolak-balik.

Nouri tampak tercengang. "Ta, kamu ada apa sebenarnya? Aku cuma tanya apa yang kamu obrolin sama Indira sampai bisa tanya kayak gitu?"

"Dan apa susahnya jawab berapa lama hubunganmu dan Indira dulu?"

Nouri diam saja. Seperti sudah nggak berselera lagi untuk menanggapi.

Okay. I guess I'm done.

"Oke. Indira benar," tukasku.

"Sorry?"

Aku mengemasi ransel dan majalah yang biasanya aku bawa ketika bepergian.

"Apa yang kamu dengar tentang aku dari Indira, aku harap kamu nggak mencernanya mentah-mentah, Ta."

Aku tertawa getir. "How do I know?"

"Ta?" Nouri terhenyak.

"Bagaimana aku bisa tahu mana sisi yang benar dan yang salah, Ri? Sementara sisi-sisi yang ada di depanku sekarang kayaknya sama aja."

Heuf. Untung aku tidak ada di kursi yang menghadap langsung ke jendela. Ya, salah satu firasatku benar; I left him first. In a fight. Insting dramaku boleh juga ternyata.

"Salma yang jemput. Aku duluan," aku pergi. Turun duluan. Meninggalkan Nouri dengan segudang teka-teki dan pertanyaan bertele-telenya.

***

Soal Salma yang akan jemput, nggak, aku bohong. Setelah mendapatkan koperku dan berpapasan dengan Nouri yang masih menunggu kopernya, aku langsung ngacir ke lobi dan mencari taksi terdekat.

Argh acara bepergian ini. Mudah-mudahan ini yang terakhir karena aku benar-benar nggak bisa punya teman traveling yang betah menyembunyikan drama dan nggak bicara sejujurnya. Seumur hidup.

Susahnya jawab, "5 bulan" atau "5 tahun" apa sih?! Pakai bertele-tele, tadi ngobrol apa lah, kenapa bisa tanya begitu lah, you did it, Nouri. I am totally done.

Sudah jatuh, tertimpa tangga. Begitu aku menyalakan mobile data, chat dari grup Manager store berhamburan masuk. Salah satunya jadwal besok. Nice. Sarasyita in charge pada pagi hari setelah malamnya menjalani drama pesawat dan telenovela bandara.

Oh look! Who is gonna be my partner for tomorrow. Golby yang akan menemaniku opening besok. Mengingat kejadian di chiller store tempo hari, aku pikir hubunganku dan Golby sedang kurang nyaman sekarang. Tapi, apa boleh buat. Tunggu sampai aku menyudahi segala tetek bengek urusanku dengan restoran ini.

Baru lima menit selonjoran di ranjang kamar, satu pesan kembali masuk.

Dari bu Elvira.

Elvira OC
i think you did it. Kamis jam 4 sore. Javamall. Ok?;)

Aku tarik perkataanku tentang sudah jatuh, tertimpa tangga. Kayaknya barusan bukan hanya tangga. Firasatku tentang seleksi store manager ini...entah, ambyar. Aku tidak bisa membayangkan kalau semisal aku lolos ke seleksi berikutnya dan fix menjadi next store manager. Ibu pasti bangga, Ayah apalagi. Tapi tidak dengan Pandu dengan senyum mirisnya, atau Nouri dengan tatapan ibanya.

Ah, cowok itu. Skip dulu. Sok ide pakai teka-teki nggak jelas. Bertele-tele. Dia ngomong jelas saja, aku masih suka nggak paham. Ini pakai belibet dikasih pertanyaan malah nanya balik. Really, Nouri?


Almost Home (Complete)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ