97. Surat Salsabila

150 19 6
                                    

Rivan sesekali memijat pelipisnya. Ia rasa kepalanya akan meledak dalam beberapa menit dan ia sama sekali tidak bisa fokus pada apapun yang ia kerjakan hari ini. Sejauh ini, ia baru merasakan ketidakfokusan yang luar biasa yang entah apa penyebabnya.

Ia bangkit dan berjalan sejenak mengelilingi ruangannya. Berharap pening yang ia rasakan bisa sedikit berkurang dan ia bisa melanjutkan pekerjaannya. Sedikit demi sedikit ia bisa merasakan napasnya bisa lebih leluasa namun ia baru menyadari bahwa tengkuknya semakin kaku. Ia meregangkan tubuhnya hingga akhirnya memilih untuk beristirahat, sekedar membeli minuman di kantin. Membuat dirinya sedikit menjauh dari pekerjaan yang sepertinya semakin hari semakin menumpuk.

Ia sudah sering berada di kantin namun tetap saja ia masih belum bisa membiasakan diri dari pandangan banyak pegawai padanya. Terlebih pegawai wanita yang secara gamblang memperhatikan segala gerak-geriknya disusul dengan tawa kecil yang selalu mengikuti tiap pandangan kecil kearah dirinya.

Nyatanya dimana pun ia berada, selama ia masih di lingkungan kantor sepertinya ia tidak bisa menghilangkan rasa tidak fokus yang semakin mengerak di ambang kesadarannya. Ia merasa seperti orang dungu dengan segala yang yang ia rasakan juga tak ia rasakan secara bersamaan. Seakan-akan seluruh sensor ditubuhnya mengalami hypersensitivity. Ia kembali mengembuskan napas panjang setelah membawa pesanan ice americano, berharap peruntungan bahwa kopi itu akan menendang adrenalinnya ke puncak gunung everest agar ia bisa bekerja dengan cepat.

Namun dengan kesadarannya yang menguap bersamaan cuaca panas di luar, ia berjalan plin plan menuju tempat yang lebih sepi. Lorong menuju hall, tempat yang biasa digunakan ketika ada pertemuan luar biasa kini menjadi tempat yang paling bisa membuatnya tenang.

Sudah berapa lama ia berjuang untuk mendapatkan surat-surat yang Dila berikan kepada orang-orang terdekatnya?

Ia sendiri tidak bisa mengingatnya, mungkin satu minggu? Dua minggu? Atau satu bulan?

Ia melenguh lelah. Ia seakan berlari di lingkaran setan dengan segala teka-teki yang Dila berikan. Laura tak memberikan petunjuk apapun mengenai surat yang ia dapatkan dari Dila. Ia masih belum bisa mendapatkan isi dari surat Dila untuk Salsabila. Janganlah tanyakan kerelaan ibunya untuk memberikan surat itu walaupun itu mengartikan bahwa ada harapan Dila kembali kepelukannya.

Ia memang bodoh dan ia baru menyardari hal itu.

Menyedihkan sekali.

Ia dengan tak sabaran meneguk ice americano hingga tersisa setengah cup saja. Matanya kini mengarah pada jam ditangannya.

Waktu untuk kembali ke rumahnya masih cukup panjang.

***

Tubuh lunglainya masuk kedalam ruangan dengan derapan-derapan lemah. Wajah yang semula terlihat baik-baik saja kini semakin menekuk dan kacamata yang ia gunakan pun rasanya sangat mengganggu. Di tengah dinginnya suasana ruang keluarga ia segera menarik paksa dasi yang ia gunakan. Melepasnya dengan penuh kekesalan lalu membantingkannya secara sembarang.

Walau begitu ia mencoba untuk tidak juga membantingkan kacamatanya. Dengan apik ia melipat kacamata tersebut dan menaruhnya di atas meja. Tak lama tubuhnya menghantam permukaan sofa dan ia berdiam di posisi berbaring dalam waktu yang cukup lama. Tubuhnya menghadap langit-langit dengan pandangan yang buram.

Semuanya tampak samar seakan setiap sisi ruangan itu menjadi penuh dengan warna yang bercampur aduk. Ia sama sekali tidak merasa terganggu dan lebih memilih untuk menutup matanya sejenak sebelum ia harus mengganti pakaiannya. 

Ia tak pernah mengira bahwa akan ada waktu dimana ia merasakan lagi hal seperti ini. Merasakan dadanya begitu sesak seakan sedalam apapun ia menarik napas sepertinya tidak akan membuatnya lega cepat atau lambat. Perasaan berdosa ini pernah ia rasakan ketika ia menampar mantan kekasihnya dulu. 

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang