24. Pengganggu

810 56 3
                                    

Ting... Tong...

Sekejap Dila menegakkan tubuhnya. Menatap jam dinding dengan mata yang memicing. Baru saja ia akan mendengarkan cerita masa lalu Rivan, namun hal itu terganggu dengan adanya tamu yang entah siapa itu. Siapa pula yang akan mengganggunya di jam-jam seperti ini? Jelas-jelas jika orang luar tak akan mungkin mengetahui bahwa ia sedang menikmati masa cuti sakitnya.

"Maaf, mungkin itu hanya seorang kurir atau semacamnya. Aku akan mengeceknya terlebih dahulu."

Setelah melihat anggukkan kecil dari Ibu Rivan, Dila bergegas ke pintu depan. Melihat siapa yang dengan beraninya mengganggu waktu yang sangat tegang itu.

Derapan-derapan kaki yang terdengar begitu nyaring memenuhi lorong itu. Kaki jenjangnya dengan cepat mencapai pintu depan, membukanya secara perlahan dan mengeluarkan sedikit tubuhnya untuk menatap siapa yang berada di depan pagar.

Rivan Gunawan Maulana.

Saat itu pula Dila berpikir untuk segera membanting pintu dan berpura-pura tak mendengar. Ibunya sedang berada di tempat ini dan sang anak datang begitu saja tanpa sebuah janji? Bagus sekali. Sejak kapan rumah Dila didatangi oleh orang-orang yang tak membuat janji terlebih dahulu?

Sekali lagi. Bagus sekali.

Dila berlari santai ke arah pagar dan membukanya. Tak menunjukkan ekspresi apapun dan berusaha terlihat tenang. Ia mengingat bahwa Ibu Rivan tak memberitahu anaknya bahwa ia sedang mendatangi calon-istri-anaknya-tersayang. Pemikiran yang lewat begitu saja membuatnya mengerutkan kening secara spontan. Rivan berdiri di sana, memperhatikan keadaan Dila dengan pandangannya yang menyelidik secara teliti pada tubuh Dila yang di balut pakaian santai namun rapi.

Ia sakit dan ia mengenakan pakaian seperti itu. Tak masuk akal.

"Mengapa mobil Hardi ada di dalam garasimu?" Ujar Rivan singkat, memecahkan sebuah keheningan yang mungkin akan menjadi abadi jika tak ada yang mencairkan.

Dila membulatkan matanya, tak tahu apa yang harus ia katakan. Namun ia memang tak bisa mengelak untuk kali ini. Dengan begitu ia mempersilahkan Rivan untuk masuk. Membiarkan mobilnya berada di luar. Bagaimanapun ini masihlah jam kerja. Tak mungkin Rivan akan berlama-lama berada di tempat ini. Lagi pula, apa yang Rivan lakukan di rumah Dila?

"Ada apa? Bukankah ini masih jam kantor?"

Ia sengaja tak menjawab pertanyaan Rivan. Itu hanyalah sebuah pertanyaan retorik. Tanpa ia jawab pun, Rivan sudah mengetahui kebenarannya.

"Aku kira kau masih terbaring di kasur dan Mbak Lina menjagamu. Aku membawakan sesuatu." Rivan mengeluarkan apa yang ia bawa dari kantung plastik.

Begitu banyak apel yang ia bawa. Itu adalah buah kesukaannya. Eh? Sejak kapan Rivan mengetahui bahwa kelemahan dirinya adalah sebuah apel? Dila menyentuh keningnya, seingatnya ia tak pernah mengatakan apapun mengenai hal-hal pribadi.

Langkah Dila terhenti ketika Rivan menyentuh pundaknya, menampilkan sebuah ekspresi yang baru kali ini Dila lihat. Tatapannya menembus jendela jiwa Dila. Sebuah tanda yang sarat akan kekhawatiran jelas terlihat. Garis matanya, garis wajahnya, garis bibirnya, semua itu tak menampilkan sebuah perasaan yang palsu. Itu adalah murni sebuah kekhawatiran.

"Terima kasih sebelumnya. Bagaimana jika masuk dulu? Seingatku jam istirahatmu cukup panjang."

Tawaran itu segera di setujui oleh Rivan yang mengikuti Dila masuk ke dalam dan membuka sepatunya dengan tata krama yang begitu sopan. Dila memandanginya dengan kagum, sebenarnya ia sudah sering melihat kelakuan Rivan yang begitu sopan. Hingga terkadang ia heran, apakah ada manusia lain selain Rivan yang memiliki tata krama seperti itu? Kalian tahu, seperti di dalam novel-novel yang kebanyakan memiliki pemeran utama dengan tabiat yang begitu mengagumkan.

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang